Alias Wello, Pemimpin yang Menciptakan Pemimpin Baru, Bukan Bercokol Terus…

Loading...

Untuk yang kesekian kalinya, saya terkagum-kagum melihat kesederhanaannya. Seorang Bupati, rela menunggu seorang staf yang sudah dijanjikan akan diberi tumpangan ke Dabo.

Hari itu, sekitar pukul 16.00, Jumat (6/9/2019), sang Bupati baru saja selesai memimpin rapat di ruangannya. Ia sudah ditunggu rapat yang ke-6 di Dabo, sebuah kota lama di Pulau Singkep.

Hampir 20 menit lamanya ia menunggu. Tak sedikit pun ia murka karena terganggu perjalanannya oleh ulah seorang staf yang abai terhadap waktu.

Ia adalah Alias Wello, Bupati Lingga, Kepulauan Riau. Kesederhanaannya, betul-betul patut ditiru dan diteladani.

Meski jabatannya sebagai orang nomor satu di bumi “Bunda Tanah Melayu” itu, ia tak sedikit pun memandang remeh bawahannya.

Sekitar 20 menit dalam perjalanan dari kantor Bupati, mobil yang membawanya tiba di pelabuhan Penarik. Staf yang lama ditunggunya tadi, langsung beranjak dari tempat duduknya di samping sopir.

Ia tergopoh-gopoh meraih tas tentengan dari tangan Bupati. Namun, ia kecele karena atasannya tak mau melepas tas yang berisi dokumen itu.

“Tak usah. Kalau perlu, saya yang bawakan tasmu. Biasa aja, saya masih bisa bawa sendiri,” kata Awe, sapaan akrab Bupati Lingga itu.

Saya dan Bang Ady Indra Pawennari, sang inovator yang tak pernah lelah menyumbangkan ide-ide kreatifnya untuk Lingga, hanya tersenyum kecil melihatnya.

Kami sudah terbiasa melihatnya menenteng ransel di punggung dan tas pelastik di tangan. Tak peduli di pelabuhan umum dan bandar udara sekali pun. Tak ada sedikit pun rasa gengsi dan malu.

Awe yang lahir di kampung kecil di Desa Raya, Pulau Singkep, 57 tahun lalu itu, adalah anak sulung dari enam saudara. Sejak kecil, ia sudah ditinggal ibunya dengan lima orang adik yang juga masih belia.

Karakter kepemimpinannya yang tak haus kekuasaan patut sangat menginspirasi. Ia sangat berbeda dengan pejabat lain yang ingin lanjut ke periode ke duanya.

Ia sama sekali tidak ingin maju mempertahankan jabatannya sebagai orang nomor satu di Kabupaten paling selatan di Provinsi Kepulauan Riau untuk periode yang kedua.

Alasannya sangat sederhana. Ia Ingin memberikan kesempatan kepada sosok yang lebih muda. Tentu saja sosok yang juga kadernya yang sudah dipersiapkannya menjadi pemimpin.

“Kita lebih baik melahirkan bintang-bintang baru yang lebih hebat dari kita, daripada borcokol terus menjadi bintang. Itulah tugas pemimpin. Harus bisa melahirkan bintang. Pemimpin baru,” katanya.

Suatu hari pada waktu yang berbeda, saya bersama beliau berangkat ke Batam. Kami ada lima orang dalam rombongan.

Sesampainya di pelabuhan Telaga Punggur di Batam, ia dijemput mobil dinas Avanza BP 11 L. Saya dan tiga teman lainnya sudah sepakat naik taksi saja.

Rupanya, ia tak mengizinkan kami naik taksi. Ia memilih duduk di kursi paling belakang. Kursi baris ke tiga. Sementara saya dan tiga teman lainnya dipersilakan duduk di depan dan kursi baris kedua.

Saya bertanya-tanya, mengapa ia memilih demikian? Rupanya, pertanyaan yang belum sempat terucap itu, langsung dia jawab.

“Mendahulukan dan memuliakan orang lain lebih baik daripada didahulukan dan dimuliakan,” katanya sambil berseloroh.

Sebagai pemimpin yang terlahir dari darah orang Bugis, Awe sepertinya betul-betul mengamalkan prinsip “Lempu’ (jujur) na Getteng (tegas/konsisten)”.

“Selain harus jujur, dalam jiwa orang Bugis itu, sudah diwariskan sikap getteng, yaitu tegas dalam mengambil keputusan dan konsisten menjalankannya,” katanya tentang falsafah yang dijadikannya sebagai pedoman hidup.

Baca Juga:

Clarita Mawarni Putri Pariwisata 2019

Terima Budaya Luar, Pertahankan Identitas Daerah

Asyiknya… Naik Kereta Gantung Keliling Pulau Bintan

Sepanjang mendampingi Awe menjalankan tugas sebagai kepala daerah di Kabupaten Lingga, ada-ada saja inspirasi yang lahir dari sikap dan ucapannya.

Ternyata, bersahabat dengan pemimpin berprinsip ingin melayani, berbeda jauh dengan pribadi yg ingin selalu dilayani.

Ah…makin lama, saya makin terpesona dengan segala rasa dan asa di bumi “Bunda Tanah Melayu” ini. (*)

Penulis: Greos Saragih

Loading...