Penetapan Tersangka Bobby Rawan Dibatalkan Pengadilan

Loading...

Berbicara hukum pidana, maka orang yang belajar hukum di Fakultas Hukum di Semester 3 paling tidak telah mengenal Pembagian hukum pidana, seperti Hukum Pidana materil – Hukum Pidana formil, Hukum Pidana umum – Hukum Pidana Khusus.

Hukum Pidana materil esensinya membahas terkait perbuatan yang dilarang beserta unsur unsur dari perbuatan dan jenis sanksinya, Hukum Pidana formil membahas bagaimana cara menjalankan penyelidikan,penyidikan, penuntutan, dan Putusan pengadilan (Hukum Acara).

Hukum Pidana Umum adalah hukum yang diatur dan dikenakan oleh aturan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan Hukum Pidana Khusus yaitu hukum yang di atur oleh undang undang atau Ketentuan- ketentuan hukum pidana yang secara materil berada diluar KUHP atau secara Formil berada diluar KUHAP.

Dalam Konteks Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis jika dihubungkan dengan Pembagian hukum pidana maka ia dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus yakni ketentuan materil dan formilnya (hukum acara )-nya menyimpang dari KUHAP.

Terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Bobby Jayanto yang disidik oleh Polres Tanjungpinang dengan dugaan melanggar Undang undang Aquo Pasal 4 huruf B angka 2 Junto Pasal 16 yang pada esensinya pasal ini disebut juga sebagai Ujaran Kebencian terkait etnis dan ras. )

Terlepas Pro dan Kontra dalam memandang persoalan ini, Penulis mencoba memberikan pandangan hukum dengan menguji masalah yang dipersoalkan dengan tata cara ius contititutum yang berlaku dalam bentuk undang – undang, Peraturan Pemerintah dan Surat Edaran Kapolri.

Pertama, berbicara pasal pasal didalam undang – undang Pidana maka tidak terlepas berbicara unsur unsur yang terkandung didalam pasal tersebut, unsur unsur pasal tersebut berfungsi sebagai pengejawantahan asas legalitas dan ujung bukti di Persidangan, Pasal 4 huruf B angka 2 Junto Pasal 16 bahwa ia berhubungan erat dengan pasal 1 ayat 1 dan ayat 5 yang pada hakikatnya disebut sebagai delik materil yang menghendaki adanya suatu akibat yang diderita oleh masyarakat, seperti kurang pengakuan, Perolehan Ham, Kebebasan dasar, Kesetaraan di bidang sipil, politik ekonomi, social dan budaya.

Dari beberapa unsur tersebut terpulang lagi melihat reaksi masyarakat atas perbuatan tersebut apakah terjadi kegaduhan, kericuhan atau unjuk rasa dimasyarakat perlu untuk dibuktikan oleh penegak hukum secara konkret

Kedua, berbicara unsur melawan hukum, di Indonesia, Mahkmah agung pernah menerbitkan Putusan (Yurisprudensi) pada tanggal 6 juni 1970 No.30 K/Kr/1969 yang antara lain memuat “ di dalam setiap tindak pidana itu, selalu terdapat unsur “melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan unsur “melawan hukum” (Leden Marpaung,2014,48).

Unsur melawan hukum dibedakan menjadi dua, unsur melawan hukum objektif adalah perbuatan yang secara kasat mata memenuhi unsur delik, dan unsur melawan hukum subjektif adalah niat atau sikap batin dari pelaku. Oleh karena itu niat tidak bisa di ukur dengan apa yang diucapkan tetapi harus dilihat Circumtances (keadaan keseharian dari pelaku) untuk sampai kesimpulan apakah memenuhi unsur itu atau tidak.

Ketiga, mengutip apa yang dikemukan Guru Besar Hukum Belanda “De rechtshandhavingstaak kan niets op de schouders van de politie worden gelegd. Handhaving is een taak van vele rechtssybjecteen in samenleving”) (Tugas Penegakan hukum tidak hanya diletakan di pundak polisi, Penegakan hukum merupakan tugas dari semua subjek hukum dalam masyarakat). (J.B. JM Ten Berge, 1996,337).

Maksudnya adalah selain polisi sebagai penegak hukum dalam perkara Aquo terdapat juga aspek penting dari Peran lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dalam menangani dugaan diskriminasi ras dan Etnis, hal ini secara eksplisit tertuang di dalam undang – undang Aquo Pasal 8 ayat 1, 2 dan 3 yang pada esensinya, hanya KOMNAS HAM yang mempunyai Kewenangan dalam hal mencari fakta, menilai ada atau ada tidaknya dugaan diskriminasi ras dan etnis.

Kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, dalam Peraturan Pemerintah ini telah jelas mengatur bagaimana beracara dalam penanganan dugaan diskriminasi ras dan etnis, seperti melakukan Pelaporan, Menilai, Mencari fakta dugaan diskriminasi ras dan etnis serta memberikan rekomendasi yang semuanya kewenangan dari KOMNAS HAM (Lihat PP No 56 tahun 2010 Pasal 1 ayat 1 sampai ayat 11).

Setelah Komnas Ham Melakukan Tindakan demikian dan menemukan suatu indikasi terjadinya tindak pidana maka penilaian tersebut disampaikan kepada Kepolisian untuk ditindak lanjuti (lihat PP No 56 Tahun 2010 Pasal 15)

Keempat, kinerja kepolisian merupakan bagian yang sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan sebab ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan di masyarakat adalah kepolisian. Oleh karenanya kepolisian merupakan Master Of Peace (Penguasa Kedamaian) bukan Master Of Violence. (Penguasa Kekerasan) Master Of Peace tersebut tercermin dalam Peraturan Kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Polri seperti Surat Edaran KAPOLRI Nomor 06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Dalam Surat Edaran ini mengulas 11 perbuatan cara penanganan perkara yang meliputi, Suku, Agama,Ras Warna Kulit dan Sebagainya. Di dalam Angka 3 Surat Edaran KAPOLRI ini menegaskan Bahwa langkah – langkah yang wajib dilakukan oleh Polri dalam Persoalan Etnis dan Ras adalah:

Pertama, Melakukan Pendekatan Pada pihak yang di duga melakukan ujaran kebencian. Kedua, Mempertemukan pihak yang di duga melakukan ujaran kebencian. Ketiga, Mencari Solusi Perdamaian antara Pihak – pihak yang bertikai, terkait yang ketiga Penulis hubungkan dengan Konsep teori sebagai upaya Melakukan Perlindungan Hukum, Prof Tjip menyebutkan Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak hak yang diberikan oleh hukum (Satjipto Raharjo, 2000,69).

Berdasarkan Uraian Deskripsi tersebut Penulis menyimpulkan bahwa: Point Pertama, dari jenis delik yang disangkakan oleh Penyidik Polres Tanjungpinang kepada Bobby Jayanto menurut penulis tidak ada unsur akibat yang terpunuhi karena kontruksi undang – undang diskriminasi ras dan etnis diformulasikan secara Materil, artinya unsur akibat seperti kurang pengakuan, Perolehan Ham, Kebebasan dasar, Kesetaraan di bidang sipil, politik ekonomi, social dan budaya (Lihat Penjelasan umum Pasal 9 Undang – undang 40 tahun 2008).

Point kedua, Laporan dugaan diskriminasi Ras dan Etnis telah dicabut oleh Pelapor artinya selain tidak ada kerugian dari pelapor atas perbuatan tersebut juga tidak ada akibat yang ditimbulkan, oleh karena itu Jika merujuk Pada Surat Edaran KAPOLRI Angka 3 Diatas Maka Selayaknya Kasus Ini dihentikan.

Point Ketiga, dari segi kewenangan bahwa tidak diikut sertakannya KOMNAS HAM dalam mengusut kasus ini sejatinya Penyidik Polres Tanjungpinang tidak menjalankan Perintah Undang – Undang No 48 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2010 atau De Wet is Niet Geimplementeerd secara sepenuhnya, artinya ada procedural Hukum Pidana formil yang dilanggar, ketika hukum pidana formil dilanggar dalam rangka menegakkan hukum pidana materil, maka penulis teringat apa yang dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof. Eddy.OS.

Pada saat menjadi sanksi ahli pada kasus kopi sianida, Beliau menegaskan bahwa dalam rangka due process of law,
apabila Perolehan bukti, Pengumpulan bukti, Penyampaian bukti, tidak sesuai dengan hukum acara maka mengakibatkan bukti itu dapat di abaikan oleh pengadilan, oleh karena itu jika kasus ini diajukan Praperadilan maka Dimungkinkan untuk di anulir oleh pengadilan.

Point Keempat, Penegakan hukum Dugaan diskriminasi Ras dan Etnis yang dilakukan belum efektif, karena ada Ketentuan yang tidak dijalankan oleh Penegak hukum, bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan lima hal, Pertama Substansi hukum, kedua Struktur Hukum, ketiga budaya hukum, keempat masyarakat, kelima Sarana Prasarana.

Oleh karena itu Last but not least bahwa Penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik, dan dari pada itu dalam menentukan siapa pelaku dan siapa korban tidak boleh beyond the law atau melampaui hukum, berdasarkan hal tersebut Penulis merekomendasikan bahwa terkait kasus ini selayaknya dihentikan mengingat aturan aturan yang telah disebutkan atau paling tidak diselesaikan dengan cara Mediasi Pidana, merujuk Negara Finlandia bahwa Mediasi Pidana dapat diusulkan oleh Polisi pada tahap penyidikan, atau direkomendasikan Penuntut umum pada tahap Persidangan dan oleh Hakim sebelum penjatuhan pidana.

Penulis: Suherman, Mahasiswa Ilmu Hukum Pidana Universitas Maritim Raja Ali Haji

Loading...