Dihantam Gelombang, Terdampar di Pulau Benan

Loading...
Refleksi 3 Tahun Pemerintahan AWe – Nizar

Menjadi pemimpin di wilayah kepulauan, tantangannya memang luar biasa. Kemana – mana harus menggunakan alat transportasi laut, seperti pompong, speedboat dan ferry. Ketika laut tak bersahabat, siap -siaplah sport jantung.

Hari itu, Minggu, 7 Februari 2016. Sehari sebelum perayaan Imlek bagi warga Tionghoa atau 10 hari sebelum pasangan Alias Wello – Muhammad Nizar dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lingga, Masa Bakti 2016 – 2021.

Langit di bumi “Bunda Tanah Melayu” hari itu, terlihat gelap. Hujan pun mulai turun perlahan. Jam di tangan saya menunjukan pukul 07.00 WIB. AWe, sapaan akrab Bupati Lingga terpilih itu, menelpon saya di salah satu penginapan di Dabo Singkep.

“Ady, siap – siap ya, kita berangkat ke Tanjungpinang pagi ini. Sekitar jam 08.00 saya jemput di penginapan. Kasih tahu teman – teman yang lain ya,” kata AWe dari balik telpon.

Kebetulan, beberapa hari sebelumnya, saya membawa tim ahli pencetakan sawah dari Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah untuk melakukan identifikasi lahan di sejumlah daerah di wilayah Kabupaten Lingga.

Sesuai janjinya, AWe menjemput saya dan tim di penginapan menuju pelabuhan Jagoh, tempat berlabuhnya speedboat dan ferry angkutan umum tujuan Kota Batam, Tanjungpinang dan Daik Lingga.

Dalam kondisi normal, perjalanan dari Dabo Singkep – Pelabuhan Jagoh dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat sekitar 20 menit. Tetapi, dalam kondisi hujan, waktu tempuh bisa menjadi 30 menit.

Tepat pukul 08.30 WIB, mobil yang membawa kami tiba di pelabuhan Jagoh. AWe memberitahu agar singgah berteduh di salah satu kedai kopi yang terletak di sisi kanan jalan menuju dermaga tambatan speedboat dan ferry.

Sekitar 1 jam lamanya kami berteduh di kedai kopi itu. Tak ada tanda – tanda hujan akan berhenti. Malah, angin terus berhembus kencang dan petir menggelegar bersahut – sahutan.

AWe mulai risau. Maklum, Ia harus terbang dari Tanjungpinang ke Jakarta dengan pesawat Garuda sekitar pukul 13.30 WIB untuk menghadiri sebuah pertemuan dengan koleganya.

“Ini sudah jam 09.30, kita berangkat aja ya. Takut ketinggalan pesawat di Tanjungpinang,” ajak AWe memberi komando kepada nakhoda dan anak buah kapal (ABK).

Jantung saya mulai berdebar – debar. Bagaimana tidak, dalam kondisi hujan lebat, angin kencang dan petir, AWe mengajak berangkat dengan speedboat kecil kapasitas penumpang 8 orang.

Baru sekitar 15 menit perjalanan, speedboat yang membawa kami dihadang gelombang tinggi. Hujan lebat dan angin kencang sangat mengganggu penglihatan nakhoda. Jarak pandang sangat terbatas. Kami semua melambung – lambung di dalam speedboat.

Jarum jam di tangan saya menunjukkan sudah pukul 12.00 WIB. Pertanda kami sudah berlayar selama 2,5 jam. Belum ada tanda – tanda speedboat yang membawa kami sudah dekat dengan tujuan, Kota Tanjungpinang.

Padahal, dalam kondisi normal perjalanan dari pelabuhan Jagoh ke Tanjungpinang menggunakan speedboat dapat ditempuh dengan waktu sekitar 2,5 jam. Nakhoda mencoba mengintip keluar, tetapi tak ada satu pulau pun yang terlihat. Semuanya gelap.

Dalam kondisi speedboat dihantam gelombang tinggi, AWe terlihat tetap santai. Tak ada sedikit pun instruksi kepada nakhoda untuk menepi atau berlindung di balik pulau. Ia tetap asyik memainkan jari – jarinya di atas keyboard Ponselnya.

Baca Juga:

PT Bintan Alumina Indonesia Buka Peluang Kerja untuk 65 Sarjana di Kepri dan Bintan

Penjagaan di Kantor KPU Anambas Diperketat

Tepat pukul 14.30 WIB, pertanda perjalanan sudah memakan waktu 5 jam. Gelombang semakin tinggi. Sang Nakhoda yang bernama Yudi berbisik kepada AWe. Ia memberi tahu cadangan bahan bakar minyak (BBM) hanya cukup untuk perjalanan 30 menit lagi.

Mendengar informasi dari nakhoda tersebut, AWe pun langsung menginstruksikan mencari pulau terdekat untuk berlabuh sambil mencari tambahan BBM. Hampir semua penumpang yang tadinya sudah frustasi, terlihat kegirangan.

“Pulau terdekat dari posisi kita saat ini adalah Pulau Benan, Kecamatan Senayang. Jarak tempuhnya sekitar 20 menit dari sini,” jelas Yudi, Sang Nakhoda.

“Kalau begitu, kita berlabuh saja di Pulau Benan sambil menunggu hujan redah dan gelombang laut teduh. Sekalian kita cari BBM dan makanan,” katanya.

Singkat cerita, sampailah kami di Pulau Benan sekitar pukul 15.00 WIB. Di tengah guyuran hujan, kami bergegas mencari kedai yang menjual makanan dan minuman. Maklum, perut sudah terasa lapar usai diguncang gelombang selama 5,5 jam.

“Eh, pak AWe. Masuk pak,” sapa pemilik kedai.

Informasi kedatangan AWe, Bupati Lingga terpilih di pulau yang terkenal dengan obyek wisata baharinya itu, langsung menyebar dari mulut ke mulut. Warga pun berdatangan menyambutnya. Tak terkecuali Kepala Desa Benan, Mar’at dan jajarannya.

Setelah mendengar saran dan masukan dari tokoh – tokoh masyarakat Pulau Benan agar tak melanjutkan perjalanan ke Tanjungpinang sore itu, AWe pun memutuskan menginap di pulau kecil itu.

Warga setempat, khususnya ibu – ibu sibuk menyiapkan makanan untuk calon pemimpinnya. Mereka sepertinya tak ingin membuat kesalahan dalam menjamu tamu istimewanya itu. Ada yang masak ayam kampung, ada juga yang sibuk ke kedai membeli ikan sarden.

Bagaimana tidak, waktu itu musim gelombang dan angin kencang. Tak banyak nelayan yang melaut. Praktis, sulit menemukan ikan segar di daerah itu. Karenanya, lauk pilihannya hanya ayam kampung, ikan sarden dan telur.

Tanpa diduga, AWe menyelinap masuk ke dapur melihat keriuhan ibu – ibu yang sedang sibuk memasak. Melihat AWe sudah di dapur, mereka langsung kegirangan.

“Bu, maaf, tak usah sibuk – sibuk. Saya cuma ingin makan ini. Saya sudah lama sekali tak makan ikan ini,” ujar AWe, sembari menunjukkan seekor ikan asin yang sudah ada di tangannya.

AWe sepertinya ingin menyampaikan pesan, bahwa seorang pejabat seperti dirinya, jika berkunjung ke kampung – kampung, tak perlu disuguhi makanan istimewa. Cukup dengan makanan seadanya, meski dengan lauk ikan asin sekalipun. ***

Oleh Ady Indra Pawennari

Loading...