AWe – Nizar, Contoh Pemimpin yang Tanggalkan Jabatan Sebagai Simbol Prestise

Loading...

Masyarakat Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Kepri), sungguh beruntung punya pemimpin seperti Alias Wello dan Muhammad Nizar yang dikenal dengan tagline Awe – Nizar. Di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dimilikinya, sang Bupati dan Wakil Bupati mampu bekerja luar biasa melebihi fasiltas jabatan yang diperolehnya.

Tak banyak pemimpin publik di negeri ini yang mampu memperlihatkan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-harinya seperti AWe – Nizar. Ketika hampir semua kepala daerah dan wakilnya “bercekau” karena rebutan kekuasaan dan kewenangan, pemimpin Kabupaten Lingga ini justru memberikan contoh yang baik betapa kekuasaan itu tak pernah dipertentangkan.

“Sejak awal, kami sudah punya komitmen bersama. Untuk urusan pengelolaan APBD, semua saya serahkan kepada Wakil Bupati. Saya cukup mengurusi bagaimana Lingga mendapat “kue” pembangunan dari provinsi dan pusat, serta mendorong masuknya investasi yang pro rakyat, tanpa mengabaikan keseimbangan lingkungan,” ungkap AWe.

AWe juga tak ingin terjebak pada rutinitas kehidupan yang glamor dengan menempatkan jabatan sebagai simbol prestise. Ia memilih gaya hidup sederhana layaknya orang biasa. Di luar wilayah Kabupaten Lingga, AWe nyaris kemana-mana tanpa didampingi ajudan. Membawa ransel di punggung dan menenteng kantong plastik adalah keseharian AWe saat bebergian.

Ia tak pernah mau orang lain membawa tasnya, kecuali saat bersama ajudan. Suatu hari di awal pemerintahannya, AWe merasakan ada masalah dengan kesehatannya. Tanpa didampingi siapa pun, Ia berangkat ke Singapura untuk memeriksakan kesehatannya di salah satu rumah sakit yang sudah menjadi langganannya sebelum jadi Bupati.

Sesampainya di rumah sakit itu, dokter yang menanganinya mendeteksi ada masalah serius dengan kesehatannya. Ia harus dirawat dan segera dioperasi. Kepada sang dokter, Ia meminta waktu berpikir sejenak, membayangkan seabrek tugas dan jadwal menghadiri acara yang sudah menantinya.

Sebelum operasi dilakukan, Ia menghubungi keluarganya. Termasuk saya di Tanjungpinang. Tak ada sedikit pun nada bicaranya mengandung kecemasan. Ia masih sempat menanyakan jadwal keberangkatannya ke Kabupaten Bone untuk studi banding tentang pertanian dan peternakan yang berkembang pesat di daerah kelahiran Wakil Presiden, Jusuf Kalla itu.

“Ady berangkat duluan ya dengan ajudan dan Kabag Umum. Nanti Abang nyusul dengan beberapa kepala dinas. Sampaikan salam saya dengan Camat Barebbo, Andi Asman Sulaiman,” katanya enteng.

Singkat cerita operasi di Singapura berjalan lancar. Kepada keluarga yang mendampinginya, AWe berpesan agar tak dibesuk oleh siapapun, termasuk pejabat Lingga. Ia ingin istirahat pasca operasi. Alhamdulillah, pemulihan kesehatannya berlangsung cepat. Setelah dirawat tiga hari, Ia pamit pulang ke Batam dan melanjutkan perjalanan ke Makassar.

Baca Juga:

10 Catam TNI AL Panda Tanjungpinang Ikuti Seleksi Tingkat Pusat

Adi Lingkepin, Pencipta Lagu Millennial Road Safety Festival 2019

Sesampainya di Makassar, Ia menghubungi saya dan menanyakan persiapan acara, termasuk agenda ramah tamah dengan Bupati Bone, Andi Fashar M. Padjalangi. Lagi-lagi tak ada sedikit pun nada bicaranya mengandung kecemasan akan kondisi kesehatannya pasca operasi. Apalagi, Ia akan mengalami perjalanan darat dari Makassar ke Watampone, ibukota Bone selama 3,5 jam.

Tepat pukul 20.30 WITA, AWe tiba di Watampone. Saya adalah orang pertama yang menyambutnya dan menyalaminya begitu turun dari mobil. Di punggungnya sudah menempel ransel. Ia tak mengizinkan saya mengambilnya. Ia mengaku masih cukup kuat dan tak perlu dikhawatirkan.

Dalam perjalanan dari mobil menuju lobby hotel, mata saya tertuju pada bercak darah segar yang jatuh ke lantai. Pikiran saya langsung tertuju kepada luka bekas operasi di salah satu anggota tubuh AWe. Tanpa menghiraukan larangannya, saya langsung mengambil alih ranselnya dan memintanya memeriksa luka bekas operasinya.

“Benar Dy, perbannya copot. Tapi, tak apa-apa,” katanya sembari menempelkan kembali perban pada luka bekas operasinya untuk menghentikan pendarahan.

Kejadian terbaru, Senin, 11 Februari 2019 lalu. Kebetulan, tiga hari sebelumnya, Ia meminta saya untuk mengaturkan jadwal pertemuan dengan Kepala Badan Karantina Pertanian yang baru dilantik, Dr. Ali Jamil dan Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, drh. Agus Sunanto.

Agendanya, membahas perkembangan Pulau Bakung yang telah diusulkan sebagai Pulau Karantina Sapi ke Menteri Pertanian sejak tahun 2017 lalu. Sekitar pukul 11.00 WIB, saya mengirimkan pesan melalui WA (whatsaap) ke AWe bahwa acara saya di Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) Kementerian LHK telah selesai dan sudah mengarah ke kantor Badan Karantina Pertanian.

Sekitar 15 menit lamanya, WA belum juga ada direspon. Telpon pun tak diangkat. Sementara jadwal pertemuan dengan Kepala Badan Karantina Pertanian sudah terlanjur diagendakan pukul 13.30 WIB. Sekitar 30 menit kemudian, AWe menghubungi saya dan mengabarkan bahwa Ia sedang mengurut lututnya yang bengkak habis jatuh di tangga.

“Insya Allah, Abang datang. Ady tunggu di depan ya. Tapi, tak apa-apa kan Abang pakai tongkat? Soalnya, kalau tak pakai tongkat, tak bisa jalan,” katanya.

Tepat pukul 13.25 WIB, mobil yang membawanya tiba di depan kantor Badan Karantina Pertanian. Saya menyambutnya di depan pintu karena sudah diberitahu lututnya bengkak, tak bisa berjalan. Lagi-lagi AWe tak ingin saya memapahnya. Begitu juga dengan Satpam Badan Karantina Pertanian yang ingin membantunya. Ia tetap berusaha berjalan dengan bantuan tongkatnya.

Jujur, saya cukup terharu melihatnya. Di tengah kondisi lututnya yang bengkak dan nyaris tak bisa digerakkan, Ia masih bekerja untuk daerah yang dicintainya. Tak ada sedikit pun keluh kesah yang keluar dari mulutnya. Ia terus menebar optimisme, menunjukkan komitmennya sebagai pemimpin yang diberi amanah oleh rakyat. Tak perduli dengan kesehatan dan keselamatan jiwanya.

Kesederhanaan yang ditampilkannya, bukan hanya dalam spektrum material, tapi juga imaterial. Ia betul-betul tak ingin menjadikan jabatannya sebagai simbol prestise dan memanfaatkan fasilitas jabatan sebagai sarana mendatangkan benefit untuk dirinya, keluarga dan koleganya. Ia sepertinya ingin menunjukkan bahwa jabatan itu adalah sarana pengabdian setulus hati. ***

Penulis: Ady Indra Pawennari

Loading...