Menyingkap Jejak Romusha di Pulau Bintan (Bagian 2 – Habis)

Loading...
Bandara RHF Tanjungpinang Awalnya Dibangun oleh Romusha

TANJUNGPINANG (suarasiber) – Berbeda dengan rezim kolonialis Belanda yang dikenal korup, rezim kolonialis Jepang dikenal kejam, dan bengis. Tapi juga antikorupsi, disiplin, dan visioner.

Itu sebabnya, meski cuma sekitar 3 tahun mengangkangi Bintan, tapi jejaknya masih bisa dirasakan hingga era milenial ini.

Keduanya, adalah jalan raya Gesek – Tanjunguban, yang warna aspalnya sekarang tak lagi hitam pekat. Karena sudah jarang dibelai ban kendaraan bermotor.

Hasil pengangkangan kolonialis Jepang lainnya, adalah lapangan terbang Kijang di batu 12 Tanjungpinang arah Kijang. Sekarang namanya berubah menjadi Bandara Raja Haji Fisabilillah.

Baca Juga : 

Warga Desa Terpencil Ini Punya Cara Jitu Jaga Kesehatan

Menyingkap Jejak Romusha di Pulau Bintan (Bagian 1)

“Jepang yang membuka Bandara itu (RHF) sekitar tahun 1942, tak lama setelah mereka masuk,” kata Aswandi Syahri, sejarahwan Kepri menjawab suarasiber.com, kemarin.

Kepentingan Jepang membangun lapangan terbang itu, untuk memuluskan aktivitas aksi militernya di Pulau Bintan, dan Kepri.

Lapangan terbang itu dibangun dalam waktu singkat dengan mengerahkan tenaga kerja paksa (romusha), yang didatangkan dari Pulau Jawa. Ribuan romusha didatangkan Jepang, untuk membuka lapangan terbang itu.

Selain untuk membangun jalan raya Gesek – Tanjunguban. Dan, pertanian di Toapaya, Bintan. Pertanian dibuat untuk mencukupi pangan Jepang, selain untuk para pekerja paksa lainnya.

Romusha juga digunakan kolonialis Jepang, untuk mengeksploitasi bijih bauksit di Kijang, Bintan Timur. Bauksit itu sendiri awalnya dieksploitasi kolonialis Belanda sejak tahun 1920-an. Yang awalnya ingin mencari timah.

Pertanyaan yang muncul kenapa Jepang seperti tidak perlu waktu berpikir, untuk membangun lapangan terbang serta jalan raya dengan tenaga romusha.

Selain merampok bijih bauksit, dan bahan bakar minyak di penampungan di Tanjunguban yang dipasok Belanda dari Plaju, Sumsel.

Begitu bisa berkuasa, kolonialis Jepang memang tak perlu lagi para perancang, dan pemikir atau penelitian, untuk mengelola daerah kangkangannya.

Tak perlu juga tenaga konsultan untuk merancang pembangunan ini dan itu.

“Beberapa tahun sebelum masuk Bintan, Jepang sudah mengirim intelijennya ke Tanjungpinang tentunya dengan menggunakan samaran. Seperti menjadi dokter di rumah sakit Belanda di Kijang,” ujar Aswandi.

Para intelijen dengan kemampuan intelektual tinggi, dan cerdas itulah, yang memasok data ke Jepang.

Baca Juga : 

Kepri Menyumbang 6 Event Unggulan di Calendar of Event Wonderful Indonesia 2019

Menteri Pariwisata Launching Calendar of Event Wonderful Indonesia 2019

Kabareskrim: Benahi Reserse, Rakyat Menunggu

Tak heran begitu berhasil menjadi penguasa, Jepang tahu apa yang harus dilakukan.

Termasuk, membuat diskresi yang membuat orang-orang tempatan di Bintan tidak diambil sebagai romusha. Tapi mendatangkannya dari Pulau Jawa.

Kini, sudah 73 tahun berlalu sejak Jepang meninggalkan Tanjungpinang, dan Bintan sekitar tahun 1945. Jejak pengangkangan kolonialis Jepang masih terlihat.

Juga masih bisa dirasakan manfaatnya, dan dikembangkan dengan lebih baik. Sehingga, cucuran darah, air mata, dan keringat para romusha tak habis sia-sia. (mat)

Loading...