Menyingkap Jejak Romusha di Pulau Bintan (Bagian 1)

Loading...
Ternyata Jalan Gesek – Tanjunguban Dibangun oleh Romusha dari Jawa

BINTAN (suarasiber) – Jalan raya yang menghubungkan Gesek – Tanjungpinang dengan panjang sekitar 70 kilometer, saat ini warnanya tak lagi hitam pekat sebagaimana layaknya jalan yang kerap dilalui kendaraan.

Warna aspal jalan raya itu sudah berubah menjadi hitam keabuan. Meski aspalnya mulus, tapi jalan yang menjadi urat nadi di Pulau Bintan sudah jarang dilalui kendaraan bermotor.

Saat suarasiber.com melintasi jalan itu beberapa hari lalu, nyaris tak berpapasan dengan kendaraan roda empat lainnya atau kendaraan bermotor beroda dua. Padahal, saat itu masih sekitar pukul 13.00 WIB. Meski sepi tapi mengendarai kendaraan bermotor di jalan ini tak bisa tekan gas penuh.

Baca Juga :

Kepri Menyumbang 6 Event Unggulan di Calendar of Event Wonderful Indonesia 2019

Menteri Pariwisata Launching Calendar of Event Wonderful Indonesia 2019

Karena, jalan raya yang awalnya dibangun Jepang dengan tenaga kerja paksa (romusha) itu banyak belokannya, naik turun dan tikungan tajam. Jepang!

Ya. Jepang memang hanya berkuasa sekitar 3 tahun di Indonesia, dan juga di Pulau Bintan. Namun, Jepang juga yang membuat ruas jalan dari Gesek ke Tanjunguban sekitar tahun 1942 – 1943. Tujuannya, untuk memudahkan distribusi bahan bakar dari Tanjunguban ke Tanjungpinang.

Saat itu, di Tanjunguban sudah ada tangki penimbunan bahan bakar (kini lokasi Pertamina), yang dibangun kolonial Belanda sekitar tahun 1932 – 1933. Dengan terbangunnya jalan itu distribusi bahan bakar untuk kepentingan Jepang di Tanjungpinang menjadi lebih cepat.

Untuk membangun jalan itu, Jepang menggunakan tenaga kerja paksa (romusha) yang didatangkan dari Pulau Jawa. “Iya, yang membangun memang Jepang pakai romusha. Tapi, romusha yang dipekerjakan di Pulau Bintan tidak semalang nasib romusha di Pulau Sumatera, yang diperlakukan dengan kejam,” kata Aswandi Syahri, sejarahwan Kepri menjawab suarasiber.com, Ahad (23/12/2018).

Salah satu sebabnya, ujar Aswandi, karena Jepang tidak membangun objek yang besar atau vital, sebagaimana layaknya yang dibangun di Pulau Sumatera saat itu.

Kejam atau tidak, yang pasti Jepang sudah membangunan jalan raya tersebut dengan menggunakan tenaga kerja paksa. Informasi yang diperoleh yang diperoleh suarasiber.com, ada seorang saksi sejarah romusha di sekitar Toapaya, Bintan. Namun, berulangkali dihubungi untuk wawancara, saksi sejarah itu enggan memberikan jawaban.

Baca Juga :

Warni Terharu Terima Piagam Badal Umrah untuk Almarhum Suaminya

Kabareskrim: Benahi Reserse, Rakyat Menunggu

Masyarakat Diingatkan tak Gunakan Masjid sebagai Tempat Kampanye Politik

Meski referensi tentang romusha di Pulau Bintan sulit diperoleh, namun redaksi bisa mendapatkan sekelumit tentang romusha dari portal https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/kampung-gesek-2/. Dari tulisan yang ditulis Jauhar Mubarok, Penyuluh Budaya Rayon Tanjungpinang diketahui sedikit gambaran tentang romusha di Pulau Bintan.

Bahwa, Jepang datang membawa romusha dari Pulau Jawa sekitar tahun 1942 – 1944. Mereka dipekerjapaksakan untuk bekerja di tambang bauksit di Kijang, dan mengurus pertanian di sekitar Toapaya. Pertanian diperlukan untuk mencukupi keperluan pekerja tambang, dan romusha lainnya.

Pada masa antara tahun 1942 – 1944 itu juga Jepang membangun jalan raya Gesek – Tanjunguban, sebagaimana disampaikan Aswandi Syahri. Diperkirakan pada masa itulah, sebagian romusha juga dipekerjapaksakan untuk membangun jalan raya yang aspalnya kini tak lagi hitam pekat. (sigit rachmat/bersambung)

Loading...