Kisah Mengharukan Badut Penari Biayai Sekolah 3 Adiknya (1)

Loading...
Pernah Dipukul Pemilik Ruko karena Terganggu Musik

Inilah kisah nyata sebut Saja Idor, sulung dari empat bersaudara yang lahir dari orang tua yang kurang beruntung dari segi ekonomi. Di kampung halamannya, di Sumatra Barat, bapak dan ibu lajang berusia 28 tahun ini hanya bekerja sebagai buruh tani. Melihat kondisi itu, hati Idor menjerit. Sebuah janji ia tekadkan di hati, ia tak akan pulang sebelum bisa membiayai adik-adiknya sekolah.

Nurali Mahmudi – Tanjungpinang

Idor melepaskan seragam kebesarannya, baju badut Pokemon yang beratnya entah berapa kilogram. Di sebuah kedai kopi di Batu 10, Tanjungpinang, ia mengangguk ketika suarasiber.com menawarinya secangkir kopi. Bagi kebanyakan orang, gila malam-malam hanya mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan.

Tetapi justru gila bagi Idor jika ia mengenakan kaos lengan panjang, apalagi celana panjang. Betapa panasnya terbungkus dalam baju badut Pokemon. Semuanya nyaris tertutup, kecuali matanya. Lewat lubang mata badut inilah Idor tahu ada berapa banyak pengunjung sebuah kedai. Sebelum memutuskan ia berhenti atau tidak. Semakin banyak orang, kemungkinan mendapatkan rezeki lebih bisa terjadi.

“Saya hanya sampai kelas lima SD,” tuturnya.

Bahkan sejak sekolah SD Idor sudah harus membantu orang tuanya. Kini tiga adiknya terus tumbuh. Dari empat bersaudara, hanya anak ketiga berjenis kelamin perempuan. Nomor dua lelaki, sudah lulus SMA. Adiknya yang perempuan baru kelas II SMA dan si bungsu baru SD.

“Semua hasil badut saya kirimkan untuk biaya sekolah mereka, Bang,” lanjut Idor sambil mengusap titik air matanya. Ia kemudian mendekatkan gelas kopinya ke bibir. Melanjutkannya dengan satu isapan panjang rokok putih yang disodorkan suarasiber. Lalu asap bergelung-gelung melayang di udara saat bibirnya terbuka.

Idor mengaku sangat ingin sekolah. Paling tidak sampai SMA. Saat waktu berputar, ia berharap ada perbaikan ekonomi keluarganya sehingga bisa sekolah. Nyatanya semakin lama justru semakin susah. “Nasib saya hanya sampai kelas lima SD. Adik-adik jangan sampai tak sekolah, saya tahu benar rasanya,” lanjutnya.

Menekuni profesi badut bukanlah pilihan, karena nyatanya tak bisa yang bisa dipilih oleh lelaki tanpa pengalaman dan tanpa ijazah, bahkan untuk sekolah setingkat SD. Di Batam, Idor pernah bermasalah dengan seorang pemilik ruko.

Musik pengiring gerakan Idor menari pasti bukan lagu penyanyi melankolis. Iramanya harus rancak, beatnya cepat biar pas mengimbangi gerakan tubuh Pokemon dengan nyawa Idor di dalamnya.

Baca Juga :

Wabup Puji Para Pemimpin Bintan Tempo Dulu

Pusat Gelontorkan DAK Pendidikan Rp14 M untuk Bintan

Sebulan Warga Kebanjiran 3 Kali, Mana Perhatian Pemkab?

“Kamu mau buka disktotek ya depan rukoku!” bentak pemilik ruko seperti ditirukan Idor.

Idor sudah mencoba menjelaskan, ia mencari uang. Kalau tak suka bisa dengan kalimat lain yang lebih sopan. Namun ia justru mendapatkan lemparan kursi plastik. Idor balas melempar. Pemilik ruko ganti melemparkan kursi besi, kena bagian belakang tubuh Idor. Terjatuh.

Toh Idor tak kapok. Hari berikutnya ia tetap menjalani profesi badut. Bayangan ketiga adiknya terlalu kuat membenam di seluruh pembuluh darahnya. Tak jarang ia menangis usai berjalan belasan kilometer dengan membawa baju badut dan menarik sound system.

“Setiap pagi, saat saya mulai keliling doa saya satu, Ya Allah berilah rezeki agar adik-adik saya bisa sekolah. Saya tidak mikir diri sendiri, Bang. Lihat ponsel saja tak punya, tetapi saya ikhlas,” ujar Idor.

Malam pongah dengan hitamnya. Idor menunduk, mengigit bibir bawahnya. Kausnya yang basah tak lagi terasa lembab. Dari GOR Kacapuri sampai Batu 10 bukanlah jarak yang dekat untuk pejalan kaki. Namun Idor merasa belum seberapa. Ia akan berjalan berpuluh puluh kilometer agar bisa melihat adik-adiknya sekolah. (bersambung)

Loading...