Antara SPPD dan Alias Wello

Loading...

TANJUNGPINANG (suarasiber) – Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), adalah sebuah keniscayaan yang umumnya diburu para pejabat negara (termasuk kepala daerah atau anggota dewan), dan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pegawai tidak tetap (PTT).

Semakin banyak mengantungi SPPD, dan semakin banyak harinya, dipastikan akan semakin besar pendapatan yang akan diterima di luar gaji dan tunjangan.

Itu sebabnya sering terlihat di suatu kantor atau lembaga, orangnya nyaris seperti hilang. Karena isi kantor atau lembaga itu tengah memburu SPPD.

Hal itu jugalah yang membuat SPPD ini, acap menjadi sumber perselisihan di sebuah kantor pemerintah atau di lembaga pemerintah.

Siapa yang sering berangkat akan dicemburui oleh rekan-rekannya yang lain, yang cuma sesekali saja atau tak kebagian SPPD.

Cerita singkat tentang SPPD tersebut, ternyata tidak berlaku bagi AliasWello, Bupati Lingga. Kisah ini bukan dari katanya atau dari nasarumber. Akan tetaapi dari pengalaman langsung suarasiber.com, saat meliput perjalanan dinas Alias Wello (Awe) di Jakarta, pekan lalu.

Saat itu Awe tengah mengunjungi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta. Untuk membahas teknologi pembuatan garam dan pengembangannya di Lingga.

[irp posts=”11588″ name=”Sedang Tidur, Bayi 9 Bulan di Jemaja, Anambas Dikepung Api”]

[irp posts=”11585″ name=”Dikukuhkan, Warga Pasundan di Bintan Galang Bantuan untuk Palu”]

[irp posts=”11581″ name=”Foto Soimah yang Ini Pasti Bikin Anda Senyum-senyum”]

Usai pertemuan yang berlangsung hingga petang, Awe berfoto bersama dengan direktur di BPPT yang menerima kunjungan itu. Setelah itu dengan santainya Awe berjalan keluar. Tidak ada berkas apapun atau SPPD, yang diserahkan dan diteken pejabat atau staf di BPPT.

Padahal, mestinya ada berkas SPPD yang harus diteken, agar perjalanan dinas bupati itu dibiayai negara. Awe hanya tersenyum saat suarasiber.com menanyakan soal itu.

“Jom. Jalan kite lagi,” kata Awe dengan wajah tanpa beban.

Untuk diketahui, SPPD baru bisa dicairkan jika ada teken dari pejabat di kantor yang dikunjungi serta cap kantor itu. Untuk bukti bahwa benar yang bersangkutan sampai di kantor itu.

Agar SPPD itu bisa diduitkan, selain foto pertemuan ada lagi dokumen lain yang harus ada. Antara lain, surat perintah tugas (SPT) dari pimpinan instansi, tiket pergi pulang sesuai harga yang tertera (at cost), dan laporan perjalanan dinas. Sebagai pertanggungjawaban perjalanan dinas itu sendiri.

Jika semua syarat itu tidak ada, dipastikan SPPD tak akan dicairkan. Apalagi, jika tak ada SPPD sama sekali.

“Ini (perjalanan dinas) aku bayar sendiri,” jawab Awe sambil tersenyum.

Bengong. Cuma itu reaksi suarasiber.com saat itu. Terlintas di kepala, “Hari gini masih ada orang seperti ini.”

Terbayang juga ada hak Awe sebagai bupati, yang melayang begitu saja.

Kalau SPPD itu diurus, Awe berhak atas pendanaan yang terdiri dari biaya penginapan (hotel), uang makan, uang saku, dan uang transpor lokal.

Itu masih ditambah lagi dengan uang representatif bagi pejabat negara (juga anggota dewan), dan PNS tertentu. Yang dibayarkan sekaligus.

“Di Jakarta aku nginap di rumahku sendiri,” ujarnya.

Padahal, sebagai bupati Awe berhak menginap di hotel berbintang dengan standar minimal eksekutif. Ternyata sudah jadi kebiasaan Awe, kalau pun harus menginap di hotel, dia pilih hotel melati.

“Kalau di Batam aku nginap di hotel melati. Harge die antara Rp 150 ribu atau Rp 180 ribu semalam. Tak pernah hotel bintang.”

“Tilamnya pun dah melengkung. Tapi tak kesah laa. Kite kan cume buat baring je. Pekare nyaman tak nyaman tu kan cume soal pikiran kite sorang je. Kite ingat je nyaman, nyaman laa,” tukasnya.

Jadi tiket pesawat bagaimana? Tanya suarasiber.com. “Aku bayar sorang juge,” jawabnya, sembari menunjukkan bukti tagihan dari travel di ponselnya.

Di layar sentuh ponselnya tertera total tagihan dari travel bernilai nyaris Rp 90 juta. “Itu tiket bulan lalu (September). Dah aku cicil dulu sebagian,” ucapnya.

Hal itu sudah berlangsung sejak tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 lalu, Awe hanta menerima sekitar Rp76 juta dari SPPD. Padahal, untuk tiket saja dia harus mengeluarkan sekitar Rp1 miliar dari kocek sendiri.

Berlatar belakang pengusaha sukses, Awe memang menepikan segala peluang pendapatan dari APBD. Tujuannya cuma satu, supaya APBD Lingga yang minim itu bisa banyak dipakai untuk membangun Lingga.

Atas jawaban itu, suarasiber.com mengejar dengan pertanyaan yang ternyata membuat wajah Awe mendadak berkerut. Mimiknya juga berubah suram. Sambil mengusap rambutnya yang mulai menipis Awe, menjawab singkat, “Begitulah!”

Sebelumnya suarasiber.com mendapat informasi tentang adanya pejabat di Kabupaten Lingga, yang SPPD-nya sampai sekitar Rp 1,2 miliar dalam setahun. Pertanyaan soal itulah yang menyuramkan mimik wajahnya.

“Aku tak masalah soal berapa besar SPPD diorang dalam setahun. Asalkan ada hasilnya untuk Lingga dari SPPD itu,” tegas Awe, yang langsung mengubah topik pembicaraan.

Diakui atau tidak, SPPD memang bermetamorfosa menjadi sumber pendapatan utama bagi sejumlah PNS, PTT, dan pejabat negara serta anggota dewan. Meski, fungsi pokoknya, adalah sebatas untuk menunjang mobilitas dan kegiatan mereka. (sigit rachmat)

Loading...