Misbahuddin: Memanusiakan Narapidana

Loading...

Bagi narapidana narkotika, menebus salah di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) adalah ujian yang tak gampang dilalui. Tetapi mereka tetap manusia, ada bagian terpenting di dirinya: hati.

Redaksi – Tanjungpinang

Senin, 6 Agustus 2018, kira-kira pukul 08.00 WIB, suarasiber sampai ke Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA Tanjungpinang, di Batu 18, Kijang, Bintan, Kepri. Dalam perjalanan dari Tanjungpinang ke Lapas, yang terbentang di depan roda kendaraan adalah sebuah tempat yang tegang, kaku bahkan menyeramkan.

Wajar, sebab kisah kelam penjara bisa dengan mudah dibaca di banyak referensi. Tak hanya penjara barat, penjara di Indonesia pun tak kalah gahar. Dari sekadar kabur, bentrok antar sel, penyerangan petugas hingga penusukan atau penganiayaan lain.

Masuk dari pintu pertama, kami harus berjalan kaki belasan meter menuju pintu lapis kedua. Di sini sebuah mesin pemindai akan menelanjangi barang bawaan Anda. Jika aman, bukan berarti tas bisa dibawa masuk ke dalam Lapas. Di depan mesin pemindai disediakan loker dengan puluhan kotak penyimpanan. Di sanalah jaket, ponsel, tas dan barang bawaan lain akan bermuara. Kunci loker, silakan Anda bawa.

Tampilan fisik Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA Tanjungpinang, hijau di setiap sudut. f-mat

Baru mau masuk saja sudah seperti ini, bayangan penjara yang menyeramkan lebih jelas bermain-main di ruang kepala. Kami pikir setelah itu boleh masuk. Rupanya kami harus masuk ke kamar pemeriksaan. Di dalam bilik, petugas akan menggeledah seluruh tubuh. Terakhir, melepaskan sepatu dan petugas akan memasukkan jari tangannya ke dalamnya, untuk memastikan pengunjung clear.

“Semua diperiksa seperti ini?” tanya suarasiber kepada petugas.

“Benar, Mas. Ini prosedur yang harus dijalani semua tamu,” jawabnya.

Saatnya menunggu panggilan masuk. Tak berapa lama, setelah mendapatkan dua kartu tamu yang harus kami gantungkan di leher, seorang pegawai mengantar kami masuk ke halaman Lapas. Pintu masuknya sebenarnya bisa dibuka lebar, namun untuk menjaga keamanan, hanya dibuka selebar tubuh manusia bisa lewat. Bagian atas daun pintu dan kusen yang semua dibuat dari besi diikat dengan rantai.

Baru keluar dari pintu tersebut, Kalapas Khusus Narkotika Kelas IIA Tanjungpinang, Misbahuddin menyongsong suarasiber. Ya, kedatangan kami pagi itu atas undangannya.

Sungguh, kami tak tahu jika ruang kerja Kalapas sebenarnya di belakang petugas yang mengoperasikan mesin pemindai. Bukan kemewahan yang kami rasakan di ruang kerja yang baru beberapa bulan dibuat ini. Ramah dan alami, dengan sebuah akuarimun berukuran besar yang menemani siapa pun tamu yang masuk ke ruang kerja Kalapas.

Pondok pesantren di dalam Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA Tanjungpinang saat sedang tak ada kegiatan. f-mat

“Saya bentuk sendiri, beginilah jadinya. Dulu ruang Kalapas di lantai dua, bangunan depan,” jelas Kalapas, Misbahuddin.

Lalu kami pun berbincang, santai, tak kaku, seperti ngobrol biasa. Misbahuddin mengatakan, ada banyak hal yang harus dibereskan. Bukan hanya lingkungan Lapas agar lebih hijau, menyenangkan, humanis, namun juga mental para penghuninya.

Salah satu hal yang penting untuk mengisi relung hati para narapidana ialah agama. Sudah ada sarananya di dalam, seperti vihara, gereja dan musala. Narapidana narkotika bisa beribadah dan memohon ampun kepada Sang Kuasa sesuai agamanya masing-masing.

Tak segan Misbahuddin memberikan buku-buku bacaan yang isinya ajaran agama untuk dipelajari. Khusus untuk napi muslim, ada yang diberikan buku belajar membaca Alquran. Bahkan di dalam Lapas berdiri sebuah pondok pesantren.

Saat Ramadan, dilaksanakan pesantren kilat untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Saat Idul Fitri, juga diselenggarakan open house. Narapidana yang beragama Islam dan keluarganya bertemu secara tatap muka. Tentu saja kesempatan ini sangat membahagiakan.

Gereja dan tempat ibadah agama lain juga suasananya nyaman dijadikan tempat mendekatkan diri kepada Tuhan. f-mat

“Alhamdulillah direspon bagus, bahkan sering mendapatkan pertanyaan kapan diadakan lagi,” tutur Misbahuddin sambil mengantar kami menyusuri seluruh bangunan yang ada di Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA yang dipimpinnya.

Open house juga dilakukan untuk narapidana selain yang beragama Islam. Waktunya biasanya saat hari besar agama yang bersangkutan.

Para narapidana muslim juga menggiatkan puasa Senin Kamis. Untuk berbuka puasanya, disejalankan dengan kajian malam Jumat. Lapas bekerja sama dengan Kemenag untuk penceramah.

Begitulah Misbahuddin mengisi kalbu para naripada narkotika dengan agama. Dan ia menyebutnya hal ini sangat penting.

Menyediakan kebutuhan rohani bukan hanya memberikan keleluasaan untuk beribadah. Misbahuddin beserta seluruh pegawai Lapas menerapkan sikap yang humanis untuk menghadapi sebuah masalah. Dengan tegas ia pun mengatakan bukan zamannya lagi menerapkan cara-cara yang kasar.

Salah satu jenis kreativitas narapidana narkotika yang dipajang di ruang kerajinan adalah aneka bonsai buatan. Semuanya dari kertas yang diolah, ringan saat diangkat tangan. f-mat

“Sebab ada ini di sini,” jelasnya sambil menunjuk badge Hak Asasi Manusia (HAM) di bajunya.

Misbahuddin pun mengubah wajah Lapas sebagai tempat yang hijau, jauh dari kesan seram dan menakutkan. Ia lalu menunjukkan sebuah gazebo di atas kolam yang dibangun para narapidana sendiri. Juga taman-taman hijau yang bisa dijumpai hampir di setiap sudut Lapas.

Berbagai barang kerajinan dipajang di ruangan samping ruang tunggu pengunjung. Hal ini memudahkan bagi para pengunjung yang ingin membeli karya kreatif para narapidana. Sebuah ide terbersit dalam benaknya, yakni membangun sebuah showroom di tepi jalan yang cukup ramai untuk memasarkan berbagai karya narapidana. “Lahannya sudah ada, dananya masih perlu dipikirkan,” akunya.

Suarasiber diberi kesempatan ngobrol dengan seorang narapidana, Ogawa. Ia mengenakan baju koko hitam dan sarung. Assalamualaikum, sapa sejumlah narapidana di pondok pesantren Lapas kepada Kalapas suarasiber sesaat sebelum kami pindah ke masjid.

“Bapak (Kalapas – red) paling peduli kalau soal pembinaan agama,” jelas Ogawa yang melayani wawancara di musala Lapas.

Lalu cerita pun mengalir panjang. Angin bertiup bebas, menyejukkan suasana dan juga hati. Saat kami minta diri, sebuah spanduk lebar terpampang di dinding Lapas. Tulisannya begini: Kami bukan orang jahat, Kami hanya tersesat, Beri kesempatan untuk bertaubat. (man/mat)

Loading...