Kami Menjalin Ikatan dalam Diam

Loading...

Setiap kali Maulid menanyakan sesuatu, ia menuliskannya di ponsel lalu menyerahkan ke saya. Dan begitu juga sebaliknya. Maulid, imigran asal Somalia, Afrika dan saya yang asli Indonesia, akrab meski harus berinteraksi menggunakan Google Translate.

Pertemuan itu terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Raja Ahmad Thabib, Provinsi Kepulauan Riau, Batu 8, dua pekan lalu. Tiba-tiba di kursi ruang tunggu dekat saya duduk, Maulid duduk. Waktu itu hanya ada satu kursi tersisa, sehingga dua teman Maulid yang juga berobat terpaksa berdiri.

Awalnya hanya hening. Itulah sedihnya, mengapa hanya gara-gara bahasa membuat dua mahluk yang sama-sama diciptakan Tuhan harus berdiam diri, padahal jarak sedekat itu. Tergoda, saya mengawali bertanya. Mandeg, hanya beberapa kata, karena Maulid tak bisa Bahasa Inggris.

Ia bisa Bahasa Indonesia, namun hanya beberapa kata. Pasti habis untuk menjawab satu atau dua pertanyaan saja. Sementara saya tak bisa Bahasa Somali, bahasa yang dipakai Maulid dan saudaranya satu negara di Afrika sana.

Saat tatapan mata kami bertemu, Maulid hanya tersenyum. Lalu saat diam-diam ia memerhatikan saya dan saya menatapnya, saya juga tersenyum. Entah apa yang dipikirkan pasien lain di RSUD Provinsi Kepri waktu itu melihat dua lelaki berbeda negara saling senyum tanpa kata.

Tuhan memang selalu menunjukkan jalan bagi mereka yang ingin berusaha. Sekian lama saling diam dan senyum, Maulid mengeluarkan ponsel pintar dari kantong celananya. Langsung saya otak saya lari ke aplikasi translator yang dikembangkan Google.

Ah, mengapa saya tidak bertanya kalau Maulid punya ponsel pintar? Jadi kan bisa komunikasi dari tadi, tak hanya saling kenalan nama saat berjabat tangan.

Saya pun membuka ponsel, lalu mengetikkan pertanyaan. Sebelumnya saya tanya bahasa apa yang dipakainya, Maulid menunjuk Bahasa Somali. Jadi inputnya saya pakai Bahasa Indonesia, outputnya Bahasa Somali. Di ponsel pintar Maulid, ia memasukkan input sebaliknya.

Saya bertanya, sistem menerjemahkannya ke Bahas Somali, Maulid membacanya dan tersenyum. Pada dasarnya imigram yang sudah tiga tahunan di Tanjungpinang ini suka bergaul dan ceria.

Ia menjawab pertanyaan ke dalam Bahasa Somali, ponsel diberikan ke saya, lalu saya switch saja setingan input dan outputnya. Maulid menjawabnya dengan Bahasa Somali, lalu menambahkan pertanyaan untuk saya.

Percakapan kami pun mengalir, seperti keluar masuknya pasien yang hendak berobat dan pulang berobat.

Saya jadi tahu, ternyata Maulid mendapatkan uang per empat bulan sekali dari PBB. Uang itulah yang dipakainya untuk membeli ponsel pintar, baju dan kebutuhan lain. Ada juga teman-temannya yang membeli sepeda biar tak bosan tinggal di penampungan.

Saat ini Maulid dan imigran lain ditampung di Bhadra Resort, di Toapaya, Kabupaten Bintan. Bertahun-tahun tinggal di Tanjungpinang, lidah Maulid mulai terbiasa dengan masakan yang ada.

“Ha, nasi goreng, saya suka,” jawab Maulid ketika saya bertanya makanan kegemarannya di Tanjungpinang. Ia tak menuliskannya lewat ponsel, karena ia hafal istilah nasi goreng itu.

Lajang yang usianya hampir 20 tahun ini juga menyebut bakso.

Bicara tentang makanan Maulid tampak gembira, namun tatkala saya bertanya apa yang membuatnya lari dari negaranya, parasnya mendadak berubah. Ia sedih. Ada lima menit kami kembali dalam kesunyian. Akhirnya Maulid bercerita di negaranya waktu itu banyak pertikaian, suasana tidak aman, makan susah.

Kami memang diam, bertanya tidak melontarkan suara, menjawab juga tidak dengan kata-kata yang keluar dari bibir. Diam, namun kami menjalin ikatan. Ia lalu minta saya menuliskan nomor ponsel saya di ponselnya. Ia misscall, saya masukkan juga ke kontak nama.

Sebelum Maulid dipanggil dokter untuk diperiksa, saya masih sempat bertanya bagaimana kesannya terhadap warga Pulau Bintan. Ia mengatakan baik, suka membantu dan menyenangkan.

Ah, Maulid, saya jadi tersanjung mendengarnya. Mungkin juga Anda.

Semalam, Maulid mengirimkan pesan di WhatsApp saya, bertanya bolehkah main ke rumah saat lebaran. Anda pasti tahu jawaban saya kepadanya. (nurali mahmudi)

Loading...