Awalnya Segelintir Santri, Kini Tangani Ratusan Calon Penghafal Alquran

Loading...

Dari sebidang lahan yang dulu dikenal angker oleh warga, bahkan disebut tempat para jin, kini berubah menjadi pondok pesantren modern penghafal Alquran. Inilah kisah inspiratif orang-orang hebat membesarkan Pondok Pesantren Anak Tahfidzul Quran (PPATQ) Yayasan Raudlatul Falah.

Moh Priyo Utomo – Pati

Hari masih gelap, embun pagi terahir baru saja mencari pegangan di ujung daun. Terlihat ratusan anak lelaki dan perempuan melaksanakan salat subuh berjamaah. Usai salat subuh berjamaah anak-anak itu bergegas mengambil kitab suci Alquran, dan dengan berbaris rapi mereka memasuki beberapa ruangan. Di depan ustadz pembimbing yang sudah menunggunya, satu persatu anak-anak itu setor beberapa ayat Alquranan yang sudah dihafalnya.

Melihat kemegahan gedung Pondok Pesantren Anak Tahfidzul Quran (PPATQ) Yayasan Raudlatul Falah saat ini, orang tidak akan pernah menyangka bila kawah candradimukanya calon hafiz dan hafizah cilik itu dahulunya dikenal sebagai lokasi yang sangat angker.

Ibarat peribahasa belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, begitulah yang dilakukan di Ponpes pencetak hafiz dan hafizah ini. F-mpo

Karena keangkerannya, masyarakat Desa Bermi Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, menyebutnya tempat jin buang anak.

Di tempat itu, banyak kejadian seram yang menimpa warga Desa Bermi. Ada yang mengaku diganggu penampakan mahluk halus, ada juga warga yang bercerita pernah suatu waktu membawa sayur daging kambing melintas, sesampai di rumah, sayur daging kambing di dalam panci lenyap berubah air putih biasa.

Namun, semua keangkeran lenyap seiring berputarnya waktu. Tahun 2008 almarhum Hajjah Rohmah mewakafkan sebidang tanah kepada KH Ahmad Djaelani, pimpinan Yayasan Raudlatul Falah. Oleh Kyai Jaelani, dibangunlah musala kecil yang sangat sederhana sebagai tempat salat berjamaah bagi warga sekitar.

Seiring berjalannya waktu serta kepekaan luar biasa seorang kyai yang mengasuh ratusan santri dewasa calon hafiz dan hafizah, Kyai Jaelani membangun empat ruangan sederhana. Dua ruangan untuk kelas menghafal Alquran dan dua ruangan difungsikan sebagai asrama.

Awalnya, hanya sekitar 20 santri cilik yang mondok di tempat tersebut. Itupun dari putra-putri warga sekitar. Karena dekat, tak jarang para santri cilik itu pulang diam-diam ke rumahnya.

Meski pusing menghadapi tingkah polah santri-santri cilik asuhannya, pengasuh pondok yang jumlahnya tak lebih dari 6 orang tetap bersabar.

Hajah Sutarni adalah salah satu orang yang dulu ikut mengasuh santri-santri calon penghafal Alquran. Sosok sederhana ini tidak bisa dipandang enteng. Perempuan tua yang rambutnya sudah memutih ini menjadi sosok yang paling disayangi para santri, terutama santri yang bandel dan cengeng.

Mungkin karena usianya yang sudah sepuh dan biasa menghadapi tingkah polah anak dan cucu-cucunya, Hajah Sutarni dengan kasih sayangnya mampu membuat santri yang bandel menurut nasihatnya.

Hajah Sutarni, salah satu pengasuh Ponpes yang sangat dekat dengan para santriwati. F-mpo

Adakalanya santri baru yang berusia 5 atau 6 tahun yang rewel karena kangen orang tua, oleh Hajah Sutarni santri itu digendongnya layaknya cucu sendiri. Terkadang yang ada di gendongannya bukan satu santri tapi dua santri.

‘’Mereka adalah cucu-cucuku,’’ ujarnya singkat.

Saking sayangnya Hajah Sutarni kepada para santri calon penghapal Alquran, hampir selama dua tahun dia ikut tidur diantara para santri perempuan. Santri yang merengek dikeloninya untuk memberikan rasa nyaman.

Pengalaman paling berkesan sekaligus mengharukan saat Hajah Sutarni menceritakan salah seorang santri asuhnya bernama Irawati. Bocah perempaun asal Winong Pati itu memiliki keunikan dibanding santri yang lain. Selain tidak mau sekolah dan mengaji hampir selama enam bulan, ulahnya membuat Hajah Sutarni termangu dan takjub.

Irawati suka tidur di akar pohon kapuk yang ada di belakang pondok. Pernah suatu waktu Hajah Sutarni kebingungan mencari santri berusia 9 tahun itu. Sambil menangis, perempuan itu berkeliling area pondok dan ke perkampungan penduduk. Hasilnya nihil, Ismawati tak ditemukan.

Karena lelah, Hajah Sutarni beristirahat di teras rumahnya. Alangkah kagetnya dia, ketika lamat-lamat mendengar suara nyanyian pelan dari atas teras rumahnya. Dan benar, Irawati tiduran diatas teras dengan kaki sedikit terlihat.

Setelah dibujuk, gadis kecil itu turun dari teras melalui pohon rambutan yang tumbuh di samping teras. Hajah Sutarni ingin marah. Tapi Ismawati meminta agar Hajjah Sutarni tidak memarahinya.

“Aku jangan dimarahi Mbah, lihat saja bulan Maulud nanti aku hapal 30 juz,” ujarnya.

Allah yang memegang rahasia setiap mahluknya. Tepat bulan Maulud gadis kecil berkelakuan aneh itu hapal 30 juz Alquran.

Bukan hanya mengasuh, Hajah Sutarni juga diberikan tugas menyiapkan dan menyediakan makan bagi para santri. Bukan hal yang mudah, lantaran pada awal berdiri PPATQ Raudlatul Falah hanya berisi perjuangan dan kerja keras.

Hajah Sutarni harus pontang-panting mencari pinjaman ke toko, agar para santri makan tepat pada waktunya.

Sekarang, saat PPATQ Raudlatul Falah memiliki 400 lebih santriwan dan santriwati cilik dengan fasilitas pendidikan yang modern, Hajah Sutarni tetap berperan. Namun sebatas membantu masak di dapur, karena untuk pengasuhan santri, pihak yayasan sudah mengangkat para pengasuh baru yang usianya lebih muda.

Meski demikian, bila ada santri cilik yang rewel, dengan senang hati Hajah Sutarni turun tangan menggendongnya dengan kasih sayang yang tulus, di mana para pengasuh muda tidak memilikinya.***

Loading...