Pembeli Ini Kecewa, Justru Mengucapkan Alhamdulillah

Loading...

Kemarin malam, Rabu (21/3/2018) pukul 21.00 WIB, saya datang ke Warung Karedok, depan Asrama Haji, Japan Pemuda, Tanjungpinang. Warung di depan sebuah toko persis di sudut jalan ini belakangan namanya mulai menanjak di Tanjungpinang. Makanannya yang satu ini: karedok menjadi menu baru yang mulai terbiasa di lidah warga Kota Negeri Pantun ini.

Sang pedagang yang asli Jawa Barat memang terbiasa membuat masakan ini sewaktu masih tinggal di kampung halamannya. Malam itu sebenarnya saya juga ingin merasakan seperti apa rasanya. Dengar namanya sih sudah, lihat fotonya di internet juga sudah, yang belum cuma rasanya. Kalau bicara makanan tetapi rasanya tidak tahu ya sama saja membuat postingan di blog cuma diisi kota judulnya. Isinya kosong sama sekali.

Sewaktu datang saya lihat Mbak pedagangnya sibuk melayani pembeli. Saya pikir ah biarlah orang lain dulu yang dilayani. Salahnya saya tidak pesan terlebih dahulu. Santai saja, main ponsel membuka buka pesan di aplikasi instan messenger. Senyum senyum sendiri membaca komentar teman-teman. Atau pura pura mengerutkan dahi ketika membaca artikel yang isinya cukup dalam. Entah berapa meter dalamnya.

Mungkin faktor usia, artikel yang waktu zaman muda dengan rakus kulahap dan intinya langsung menempel di otak. Sekarang, artikel biasa saja kadang butuh pemahaman lebih lama. Memang usia itu tak bisa dibohongi. Dan janganlah bohong soal ulatng tahun atau usia. Bisa susah sendiri. Contohnya teman saya yang mengubah tanggal lahirnya saat mendaftar sebuah akun di media sosial. Ia terkaget-kaget ketika ditagih makan-makan di hari yang sama sekali bukan tanggal lahirnya. Hayo yang suka nipu tanggal lahir, biasanya dibuat lebih muda, ngaku nggak?

Hingga saya rasa cukuplah untuk mengencani ponsel, saatnya memesan karedok. Saat itu datanglah dua perempuan, satu usianya di atas 50 tahun, satunya lebih muda. Bisa jadi ibu dan anak. Mobilnya diparkir di sebelah gerobak Warung Karedok.

“Ada karedok?” tanya yang lebih tua. Perempuan berkacamata ini kemudian melihat dari balik kaca gerobak.

“Habis, Bu. Maaf, ya,” jawab anak Si Mbak Pedagang yang ikut membantu ibunya.

“Ketopraknya saja.”

“Habis juga, Bu.”

Tahu kata apa yang kemudian diucapkan pembeli yang kecewa lantaran makanan yang ingin dibelinya habis? Menggerutu? Sekadar kata kata keluhan? Kekecewaan dalam bentuk lain?

“Alhamdulillah,” begitu jawaban perempuan tadi.

Ia kemudian berjalan ke pedagang lain yang ada di sebelah Warung Karedok. Dan memesan makanan di sana. tentu saja masakan lain, bukan karedok.

Jujur saja, puluhan tahun umur saya sepertinya baru kali ini menyaksikan arifnya seseorang terhadap orang lain. Bahkan saat kekecawaan itu muncul dalam hatinya, lantaran apa yang dibutuhkannya tidak ada.

Mbak pedagang karedok pun sama terkejutnya dengan saya. Sejurus kemudian ia meletakkan telapak tangan kanannya di dada dan mengucapkan kata yang sama: alhamdulillah. Bukan hanya dia, suaminya yang baru balik dari rumah kontrakan pun mengucapkannya, sambil bersyukur.

“Baik sekali Ibu tadi, Mas. Tidak kebagian karedok tetapi mengucapkan syukur, itu doa buat kami,” ujar suami Mbak pedagang Karedok yang mulai bersiap-siap pulang dan mengemasi barang-barang dagangannya.

Rasanya kok saya menjadi kenyang tiba-tiba. Hasrat menyantap karedok yang sudah terbayangkan hilang. Barang dagangan yang tak seberapa di Warung Karedok ini habis dibeli pelanggan, adalah sebuah pemandangan yang menentramkan hati saya.

Pengalaman batin yang membuat saya harus lebih banyak belajar. (man)

Tulisan tentang renungan hidup lainnya bisa dibaca di lambenjeplak

Loading...