Oji, Menapak Bintang, Mendadak Hilang

Loading...

Saya bukan termasuk orang yang suka musik dangdut. Saya harus jujur, soalnya kalau bohong dari awal, selanjutnya harus bohong. Atau kebohongan itu akan diketahui publik jika tidak menjaga kebohongan.

Saya lebih suka mendengarkan Love Hurt-nya Nazareth, Souvenir-nya XYZ dan band-band zaman old. Bukan berarti saya setua mereka. Atau yang lebih ngepop saya pilih U2, Chicago. Yang dalam negeri masihlah penyuka Sahara, Grass Rock, Power Metal, Elpamas, Kaisar, Whizzkid.

Foto Oji di folder komputer saya. F- man

Namun tiba-tiba saya mengenal Rozi Syahputra, suatu siang, akhir Januari 2018 silam. Hanya gara-gara mendapatkan kiriman pesan melalui WhatsApp. Isinya, malam itu lima pedangdut Kepri akan memperebutkan yang terbaik untuk berlaga di Liga Dangdut Indonesia (LIDA). Sebuah acara besutan Indosiar yang setiap kali tayang ratingnya tinggi.

Dan saya cukup sabar saat menyaksikannya banyak iklan numpang. Begitulah risiko nonton sebuah acara di teve, semakin menarik ya semakin banyak iklannya. Padahal saya bisa memindah chanel ke tayangan favorit saya, National Geographic dan History.

Ya, semua karena Oji, begitu mahasiswa STAIN Sultan Abdul Rahman itu dipanggil nama bekennya. Nama itu juga yang dijadikan default bagi para pendukungnya setiap kali tampil di LIDA.

Awalnya saya tidak peduli siapa yang bakal mewakili Kepri ke babak 34 besar. Mau Asya Aunima Tabila dan Yulia Ultri dari Batam, Dwi Mindra Wahyuni dan Ona Sastra atau Rozi Syahputra dari Tanjungpinang. Pikir saya, Kepri, kenapa tidak? Saya percaya, Tuhan tidak menciptakan anak muda yang bisa menyanyi hanya di Jawa sana.

Dan Oji menang. Dari SMA sampai kuliah, saya hobi ngeband, sebagai vokalis juga. Melihat panggung LIDA yang spektakuler dan Oji ada di atasnya, jujur saja saya merasa kecil. Ini bukan soal genre, dangdut dan rock. Melainkan soal prestasi.

Saya bangga saat penampilan lima pedangdut Kepri di Studio Indosiar, sejumlah pejabat dan warga Kepri memberikan dukungannya langsung. Termasuk istri Gubernur Kepri, Noorlizah Nurdin. Dan sebagai warga yang memegang KTP Kepri, saya ikut bangga.

Oji pun jadi bintang. Saya ingat, saat Tanjungpinang City Centre mengadakan lomba TCC Idol, Oji menjadi guest star-nya. Saya pun sempat berhadapan langsung dengan Oji. Satu lagi yang membuat saya suka. Dengan bangga Oji mengenakan tanjak di kepalanya. Benar-benar Melayu.

“Saya akan tetap mengenakan ini di babak selanjutnya. Saya juga tetap menggunakan Bahasa Melayu, meski dikira orang Malaysia,” tutur Oji kala itu.

Semoga tetap bersemangat dan mengukir prestasi Bro. F-ist

Dan saya menjadi rajin menonton LIDA. Hingga akhirnya datang juga hari itu, Kamis tanggal 22 Maret. Malamnya, panggung LIDA menayangkan penampilan para pedangdut dalam Konser Final Top 20 LIDA. Saya malu kalau menyampaikannya di sini, berapa kali saya kirim dukungan untuk Oji. Ah, saya tambah doa saja.

Malam ini, saat saya menuliskan ini, WhatsApp saya tak lagi mendapatkan pesan dukungan untuk Oji di LIDA. Oji tersingkir di Konser Final Top 20 LIDA. Padahal sekian minggu berlalu, sementara jadwal LIDA diputar setiap minggu sekali.

Saya kehilangan Oji. Memang langkahnya terhenti. Tetapi saya mempunyai catatan tentang semangatnya. Cita-citanya yang belum tercapai. Tentu bukan hanya Oji yang kecewa. Relawan Gerakan Sayang Oji (GSO), yang selama perjuangan Oji rajin mengabarkan langkahnya pasti merasakan hal serupa.

Yang ingin saya lihat hanya satu. Pemko Tanjungpinang atau Pemprov kepri mengadakan acara untuk Oji. Terhenti di babak 20 besar pedangdut Se-Indonesia bagi saya bukan keberhasilan yang tak patut dirayakan. Setidaknya selama penampilan Oji yang hampir dua bulan di televisi swasta nasional, ada penonton yang ada di Papua, Kalimantan, Banten bahkan Malaysia mendengar Tanjungpinang. Lebih paham Kepri.

***

Kegembiraan para pendukung Oji yang merelakan datang ke Studio Indosiar, Jakarta. F-ist

Di atas panggung di Lapangan Pamedan itu, Oji bernyanyi lepas. Tak ada beban, berbeda dengan saat harus berlaga di panggung LIDA Indosiar. Masih mengenakan tanjak, menyapa penggemarnya dengan logat Melayu kental, lelaki muda itu lalu mengalunkan sebuah lagu yang saya ingat betul mengantarkannya sebagai juara pertama kontestan Kepri di panggung LIDA.

Sejumlah pejabat mengucapkan terima kasih atas perjuangan yang tak mudah. Anak-anak muda lain, yang sebelumnya lebih suka menyaksikan sinetron yang mengharu biru terhenyak, berpikir betapa hebatnya negeri di mana mereka tinggal. Penghargaan diberikan bukan hanya kepada pemegang bendera kemenangan, namun juga untuk upaya, kerja keras dan semangat anak negeri yang telah ikhlas berjuang. Meski gagal mengibarkan bendera di puncak prestasi.

Saya masih melihat gaya menyanyi yang sama. Oji yang sama. Oji yang rela meninggalkan kuliahnya sekian lama untuk berbakti kepada negeri lewat bakatnya. Saya terhanyut.

… sebuah pesan masuk ke WhtasApp saya. Membuyarkan lamunan tentang panggung penghargaan untuk Oji. Saya buka WhatsApp dan kubaca pesan baru itu: Mas, desain stikernya sudah selesai atau belum?

Panggung itu tak ada lagi, berganti layar komputer. Ada sebuah desain stiker pesanan konsumen yang seharusnya sudah rampung saya kerjakan. (nurali Mahmudi)

Tulisan lain bisa dibaca di rumah saya

Loading...