Filosofi Mengopi

Loading...

Konon, orang-orangtua zaman dahulu saat menikmati secangkir kopi selalu penuh perasaan. Baik ngopi pagi, siang atau sore. Dalam kopi terdapat semangat, inspirasi, bahkan makna hidup.

Beberapa malam lalu, saya pesan secangkir kopi susu di sebuah kedai kopi samping lapangan sepakbola di Jalan Hang Lekir, Batu 10. Malam hampir jam 23.00 WIB. Bersama teman yang malam itu juga butuh kehangatan.

Cangkir kopi itu beda dengan gelas teh obeng. Kecil, porselennya tebal, dan isinya juga tidak banyak. Namun dalam ukuran mininya, selalu ada banyak kalimat terlontar saat menikmatinya. Mungkin benar tagline yang dibuat sebuah tempat ngopi di Tanjungpinang, Secangkir Kopi Sejuta Borak.

Hanya ada saya, teman dan kopi. Ketika tiba-tiba seorang lelaki yang usianya saya taksir paling muda 60 tahun, izin untuk duduk bersama kami. Lumayanlah, untuk menambah stok topik biar tambah semarak obrolan malam itu.

Rupanya, dari pertanyaan singkat tentang kopi, topiknya justru tidak terbelah kemana-mana. Ibarat rel kereta, dari ujung ke ujung stasiun ya membahas kopi.

“Ini warung kopi anak saya,” katanya. Saat si anak melayani pembeli, lelaki ini memperkenalkannya kepada saya. Bagi Pak Sonhaji, Bapak tadi, kopi bukan hanya sekadar filosofi. Melainkan jalan hidup.

Ia sendiri sukses mengelola kedai kopi. Anaknya dibuatkan usaha yang sama. Beberapa orang juga belajar membuat usaha ini. Sewaktu belum membuka kedai kopi, perantau asal Jawa Tengah ini memang sudah menyukai kopi.

Pak Sonhaji lalu menjelaskan, mengapa pada zaman dahulu orang orang kampung sudah mengopi pagi sekali. Saat matahari mulai terbit, mereka beranjak untuk beraktivitas.

“Sambil ngopi sambil mikir. Siang ini saya mau apa, hari ini saya mau apa? Begitu seharusnya ngopi, bukan asal diminum,” ujar Pak Sonhaji.

Itulah sebabnya, secangkir kopi sudah cukup. Kopi membuat degup jantung lebih cepat di pagi hari. Bahkan yang tak biasa, berdegup. Beda kalau lomba minum kopi. Minum sebnyak-banyaknya untuk hadiah sebesar-besarnya.

Pak Sonjahi sendiri tetap mencintai kopi hitam. Meski saat ini banyak inovasi kopi. Hitam baginya adalah kehidupan. Jika hitam disimbolkan sesuatu yang negatif, cobalah untuk mencerahkannya agar berguna bagi banyak orang.

“Nikmatilah seteguk demi seteguk. Setiap teguk dirasakan benar rasanya, pikirkan langkah apa harus dilakukan usai minum kopi,” imbuh Pak Sonhaji.

Jika ngopi bersama dianggap lebih enak, seharusnya banyak kepala yang bisa dimintai saran. Yang diajak ngopi biasanya teman dekat. Dan begitulah, berbagi cerita, masalah, persoalan dengan teman dekat itu perlu. Apalagi kalau otak rasanya sudah mau meledak. Iyalah, kepala seseorang kan ada batasnya.

Hebatnya minum kopi, sewajarnya setegus demi seteguk sampai tegukan terakhir. Beda dengan minum es cendol, tegukan pertama langsung habis setengah gelas. Kopi, meski sudah dingin karena ramainya obrolan, akan tetap diteguk sedikit demi sedikit.

Menurut Pak Sonhaji, kesabaran orang meneguk kopi bisa diterapkan dalam langkahnya. Dalam kehidupan nyata.

Sastrawan mengopi untuk menciptakan puisi atau buku sastra, pelukis ngopi untuk menemukan warna pas untuk lukisannya, musisi ngopi untuk melahirkan lirik yang dalam.

Pak Sonhaji sudah beranjak dari kursi kami. Tinggal saya dan teman saya. Saat meneguka kopi bersama, pelan, mencoba menikmatinya, kami lantas saling pandang. Lalu meledak tawa kami berdua.

“Apa yang kamu pikirkan saat kopinya melewati tenggorokan?” tanya saya.

“Agak pahit. Hahaha,” jawabnya, “merasakan kopi saja belum bisa apalagi menyelami filosofinya.”

Lalu teman saya balik bertanya apa yang saya pikirkan.

“Ternyata banyak sekali yang belum saya kerjakan,” jawab saya.

Kami berdua terdiam. Hingga tegukan terakhir, kami asyik memainkan ponsel. Padahal pikiran kami bukan di sana. Namun memikirkan ucapan Pak Sonhaji. (man)

Loading...