Akhir Cerita Kedai Tionghoa di Komplek Raja

Loading...
Mengenang Toko Sinar Tumur di Pulau Penyengat

Waktu dan zaman adalah parasit sejarah yang menghasilkan dua pilihan, bertahan atau mundur. Setelah tiga generasi ternyata kedai Awang Cina menyerah dengan sejarah, dan memilih hijrah untuk sebuah keputusan yang tidak bisa dibantah.

Yoan S Nugraha – Tanjungpinang

Kedai sederhana yang terletak hanya beberapa meter dari sisi kiri Masjid Sultan Penyengat adalah saksi bisu tentang persahabatan yang terjalin dengan etnis Tionghoa. Sayang semua itu hanya bakal menjadi jejak cerita untuk generasi mendatang.

Tak ada lagi Awang yang fasih berbahasa Melayu. Foto – yoan

Tidak ada yang tahu siapa nama toke kedai kelontong itu, yang jelas masyarakat Pulau Penyengat lebih mengenalnya dengan istilah Awang Cina. Memanggilnyapun tidak dengan embel-embel lain, seperti Pakbah Awang, atau Apek Awang, cukup Awang.

Konon, Awang sudah membuka lapaknya sejak 3 generasi dengan posisi yang sama di samping Masjid Penyengat bersama sang istri yang juga Tionghoa, Acu.

Nama Awang adalah label sepihak yang diberikan oleh masyarakat Penyengat kepada sang toke kedai kelontong tersebut. Alasannya, lelaki ini fasihnya berdialog dengan bahasa Melayu melebihi orang Melayu itu sendiri. Awang dalam lintas sejarah yang ada, bukan hanya sebatas nama, namun juga sebutan khas untuk menyapa seorang laki-laki dengan usia yang dinilai matang.

Mak Nur, tetangga Awang, menjelaskan bahwa kedai kelontong bermula dari sang kakek.

“Dulu Atok Awang yang pertama sekali jualan, sudah itu menurun ke bapak Awang, kami memanggilnya dengan kedai Baba, baru kemudian ke Awang,” papar Nur mengenang. Ia mencoba merajut ingatannya.

Sesekali wajah renta Mak Nur menunduk lesu, dari bibir keriputnya mengeluarkan suara kerinduan. “Sekarang dah tak ada lagilah kawan begurau,” ujarnya dengan logat melayu kental.

Faktor usia adalah alasan yang disampaikan Awang dan Acu kepada Nur ketika berpamitan dan sepakat untuk menyudahi lapak dagangan tiga generasi tersebut. Di usia Awang yang kini sudah lebih dari 70 tahun sudah cukup memberi kita tolok ukur untuk mengira seberapa lama kedainya bertahan. Berdagang dan bersosialisasi dengan masyarakat Melayu.

“Dia tak pindah jauh, katanya ikut anaknya di Pinang. Adalah sesekali balik ke sini (Penyengat) untuk semalam dua malam, sekadar menyambangi kami,” kata Nur kepada suarasiber.

Percintaan Awang dengan Acu di tanah adat Pulau penyengat berhasil meneruskan empat orang zuriat, yakni Aling, Asiang, Aceng, dan Ahan. Semuanya sudah menikah dan meninggalkan Pulau Penyengat untuk berdagang dengan konsep yang lebih modern.

“Anaknya dah kawin, sebagian ada di Singapura, ada juga yang punya ruko di Pinang,” ungkap Nur yang dibenarkan beberapa wanita paruh baya yang mengaku sebagai teman sepermainan Awang-Acu.

Selain kedai Awang, tepat di Kampung Jambat diketahui juga ada lapak warga Tionghoa. Warga menyebutnya dengan kedai Baci, namun garis keturunan sudah tidak lagi murni ketika saudara Baci yang bernama Mak Lebar berpaut hati kepada orang pribumi dan memutuskan memeluk Islam.

“Kalau kedai Baci tu dah lama tutup, adalah 10 tahun lebih. Yang disayangkan ya kedai Awang ini, belum setahun tutup,” curhat Mak Nur.

Berakhirnya kedai Awang juga menambah catatan sejarah tentang dagang Tionghoa di Komplek Raja yang dulu dalam proses pembangunan Masjid Sultan. Para saudagar Tionghoa pernah menyumbangkan dua kapal besar yang sarat muatan telur penuh di palka kapal.

Tidak sedikit juga mata yang sejenak melirik kepada bingkai kedai yang rapat tertutup di ruas Jalan Bukit Kursi, Kampung Bulang. Seakan ada pesan yang ingin disampaikan kepada Toko Sinar Timur untuk terus bersinar dan jangan pernah padam. ***

Loading...