Terganggu Mafia Tanah di Bintan, CEO Takke Group Temui Moeldoko

Loading...

JAKARTA (suarasiber) – Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menyambut baik, dan mendukung rencana Takke Group. Yang akan mengembangkan jaringan bisnisnya di bidang pariwisata serta pelabuhan transhipment di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

“Kita dukung. Apalagi investasi yang akan dikembangkan dapat menggerakkan perekonomian dan membuka lapangan kerja di daerah,” tegas Moeldoko saat menerima Chief Executive Officer (CEO) Takke Group, Laurence M. Takke di Jakarta, Selasa (2/7/2019).

Menanggapi persoalan mafia tanah yang dilaporkan menjadi hambatan Takke Group dalam pengembangan investasi di Pulau Bintan, Moeldoko meminta aparat penegak hukum menanganinya secara serius.

“Tanah adalah elemen terpenting dalam investasi. Jika tidak diamankan, bagaimana investasi dan ekonomi bisa tumbuh dan berkembang? Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus menanganinya secara serius,” katanya.

CEO Takke Group, Laurence M. Takke dalam pertemuannya dengan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyampaikan komitmennya sebagai putra daerah untuk membangun Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

“Ini adalah panggilan moral sebagai anak daerah untuk ikut berkontribusi membangun negeri. Sehingga roda perekonomian bisa bergerak dan lapangan kerja untuk anak – anak tempatan terbuka luas,” katanya.

Pemilik Takke Group yang sudah malang melintang membangun jaringan bisnis properti di ibu kota Jakarta bersama menantu Presiden Jokowi, Bobby Afif Nasution itu, tak membantah. Jika mafia tanah menjadi momok yang menakutkan bagi dunia investasi.

“Saya alami sendiri di Pulau Bintan. Saya punya tanah yang sudah memiliki sertipikat hak milik yang diterbitkan tahun 1993 – 1999. Tiba – tiba diakui orang lain sebagai miliknya berdasarkan surat tanah yang diterbitkan oleh Camat dan Kantor Pertanahan tahun 2004 dan tahun 2013,” jelasnya.

Laurence mengibaratkan, persoalan mafia tanah di daerah, khususnya di Pulau Bintan, sudah berada pada stadium yang kronis. Bayangkan, dalam satu bidang tanah terdapat tiga atau empat surat tanah, baik berupa alas hak atau surat keterangan riwayat kepemilikan tanah maupun sertipikat.

“Mafia tanah ini, diduga memiliki jaringan antara pihak swasta dengan oknum di kantor pertanahan hingga aparatur pemerintah daerah mulai dari perangkat RT/RW, desa sampai ke tingkat kecamatan,” ujarnya. (aip)

Loading...