Polemik Lahan Tidur di Kota Batam

Loading...

Dulu pada masa Presiden Soekarno, Kota Batam dijadikan sebagai basis tentara saat masa konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soehartotahun 1970 menetapkan Pulau Batam sebagai pangkalan logistik dan operasional yang berhubungan dengan ekploitasi dan ekpslorasi minyak lepas pantai berdasarkan Keppres Nomor 65 tahun 1970.Melihat prospek pengembangan Pulau Batam, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No 74 tahun 1971 tentang PengembanganPembangunan Pulau Batam Menjadi Daerah Industri.

Terbitnya Keppres ini menandai lahirnya Otorita Batam, kemudian dalam perjalanannya berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdangangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau disebut Badan Pengusahaan Batam. Kemudian diperkuat dengan Berdasarkan Keppres No 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

[irp posts=”11528″ name=”Air Terjun Jelutung, Solusi Atasi Krisis Air Bersih Batam”]

Dalam beberapa dekade terakhir Kota Batam tumbuh dan berkembang menjadi kota industri dan pusat perdagangan di Indonesia. Kota Batam menjadi salah satu lokomotif ekonomi di kawasan Indonesia bagian barat khususnya di Pulau Sumatera.Dalam dua tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Batam mulai menurun, lesunya ekonomi Batam tentu berdampak signifikan terhadap ekonomi Provinsi Kepulauan Riau, karena sebagian besar ekonomi di Provinsi Kepulauan Riau ditopang oleh Kota Batam.

Turunnya geliat ekonomi Batam dalam dua tahun terakhir selain selain karena faktor ekternal yaitu pengaruh ekonomi global, dalam hemat penulis juga karena faktor internal.Salah satunya tidak termanfaatkan secara maksimal lahan yang ada di Kota Batam untuk kegiatan yang produktif secara ekonomi. Tulisan ini tidak akan mengupas tentang pertumbahan ekonomi Batam, tapi akan membahas tentang peliknya permasalahan lahan tidur di Kota Batam

Lahan Tidur di Kota Batam

Sebelum membahas tentang lahar tidur, perlu dikatahui siapa yang memiliki kewengan soal tanah di Kota Batam.Berdasarkan Keppres No 41 Tahun 1973 dan Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 tentang Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.

Kewenangan ini diperkuat dengan dengan Keppres No 74 tahun 1971 tentang PengembanganPembangunan Pulau Batam Menjadi Daerah Industri. Maka Kota Batam berbeda dengan sejumlah daerah lain di Indonesia di mana soal pertanahan pemerintah memiliki kewenangan, namun di Kota Batam tanah sepenuhnya menjadi kewenangan Badan Pengusahaan Batam.

[irp posts=”7384″ name=”Saatnya yang Muda Terjun ke Politik”]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari lahan tidur adalah tanah terbuka yang tidak digunakan oleh pemiliknya secara ekonomis. Maka dari penjelasan ini dapat dimaknai bahwa lahan tidur adalah lahan yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya atau yang memegang hak atas tanah, sehingga tanah tersebut tidak menghasilkan secara ekonomi.

Sejak tahun 1970-an banyak pengusaha yang memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL).Dengan tujuan setelah pengusaha memiliki HPL maka harus melakukan atau membuka usaha atau investasi dilahan yang mereka kuasai tersebut.Namun dalam tataran pelaksanaannya banyak pengusaha setelah mendapatkan HPL tidak membuka atau melakukan investasi terhadap lahan yang dikuasainya.

Hal ini bisa dilihat, pada tahun 2017 teridentifikasi sekitar 7.700 ha pada 2700 lokasi menjadi lahan tidur di Kota Batam, ada yang sudah 28 tahun dibiarkan (Gusmardi Bustami, Media Indonesia, 8-8-2017).Data ini menunjukkan bahwa cukup banyak lahan yang dikuasai pengusaha namun dalam waktu yang lama lahan tersebut tidak dimanfaatkan.Sementara itu disisi lain Badan Pengusahaan Batam saat ini mulai kesulitan untuk mencari lahan bagi calon investor yang berminat untuk menanamkan modalnya di Kota Batam.

Kondisi yang kontradiksi, berdasarkan kewenangan dibidang pertanahan sepenuhnya tanah di Kota Batam dikuasai oleh Badan Pengusahaan Batam namun setelah pengusaha mendapatkan HPL, lahan tidak dimanfaatkan dalam waktu yang lama, pemerintah dalam hal ini Badan Pengusahaan Batam kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap pemanfaatan HPL tersebut. Disisi lain luas lahan semakin berkurang di Kota Batam, banyak investor yang mencari lahan dan Badan Pengusahaan Batam kesulitan untuk memfasilitasi itu.

Data terbaru di Kota Batam sampai dengan bulan April 2018 masih ada sekitar 7.000 hektare lahan tidur yang dikuasai 2.800 pengusaha.Lokasinya tersebar di semua kecamatan di Kota Batam.Dari 2.800 pengusaha yang mengusai lahan tersebut baru sekitar 280 pemilik lahan tidur yang dipanggil untuk ditanyakan komitmen pembangunan lahan mereka (Batam Pos, 16-9-2018).
Dari data ini menunjukkan bahwa masih banyak pemegang HPL yang tidak memanfaatkan lahannya.Kondisi ini masuk dalam kategori lahan tidur, karena lahan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya atau yang memegang hak atas tanah, sehingga tanah tersebut tidak menghasilkan secara ekonomi.

Negara VS Pengusaha

Ada dua pihak yang terkukung dalam polemik lahan tidur di Kota Batam ini. Pertama Badan Pengusahaan Batam selaku otoritas yang memiliki kewengan bidang pertanahan.Kemudian sejumlah pengusaha selaku pihak yang memiliki HPL, namun banyak lahan yang tidak dimanfaatkan.

Di sisi lain ekonomi di Batam lesu, serta ada pihak investor yang akan berinvestasi, namun ketersediaan lahan mulai terbatas. Posisinya negara harus mampu menertibkan para pengusaha yang membiarkan HPL tidak dioalah dan bernilai ekonomis, agar polemic lahan tidur ini bisa terselesaikan.

[irp posts=”10600″ name=”Menyoal Alias Wello Gagal ke DPD”]

Dari informasi di media, Badan Pengusahaan Batam mengalami kesulitan dalam menertibkan lahan telantar alias lahan tidur di Batam. Kendalanya antara lain lamanya waktu menyelesaikan dokumen arsip tidak lengkap, database lahan belum update secara keseluruhan, update data perubahan PL (Pengalokasian Lahan) dan peralihan hak masih berlangsung, alamat penerima alokasi sudah berubah dan pengalokasian dipindahtangankan tanpa izin dari Badan Pengusahaan Batam (Batamnews, 12-12-2016).

Kendala lain adanya upaya perlawanan dari pemegang HPL, seperti yang terjadi pada tahun 2016, dari delapan pemegang HPL yang dicabut alokasi lahannya itu, ada yang mengajukan gugatan ke pengadilan(Batam.Tribunnews,12-12-2016). Jadi tidak serta merta para pemegang HPL menerima upaya ambil alih kembali lahan yang dilakukan Badan Pengusahaan Batam bisa di terima oleh pemegang HPL.

Langkah terkini yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Batam, seperti yang ungkap oleh Deputi Pengusahaan Sarana Usaha BP Batam Dwianto Eko Winaryo untuk mengoptimalisasi lahan yang sudah berstatus HPL antara lain ; pertama, pihak investor dipersilahkan untuk menyampaikan bisnis plan yang akan dibangun diatas lahan, kedua kemampuan perusahaan dari sisi finansial, apabila memang tidak sanggup maka silahkan ajak partner dengan pembuktian akta notaris. Ketiga jika memang tidak sanggup silahkan sampaikan ke BP Batam, maka BP akan mengalokasikan lahan kepada investor lain (Jejakkepri.Com, Batam, 9-3-2018).

Dari uraian ini ada kendala penertiban lahan tidur karena keterbatasan pada Badan Pengusahaan Batam, kemudian juga upaya perlawanan yang dilakukan oleh pemegang HPL.Kemudia juga sudah ada langkah-langkah yang dilakukan oleh negara melalui Badan Pengusahaan Batam untuk mengoptimalkan dan melakukan kontrol terhadap sejumlah lahan tidur di Kota Batam.Namun pertanyaan besarnya adalah apakah langkah tersebut sudah berdampak terhadap pengurangan jumlah lahan tidur di Batam.

Dari data di atas menunjukkan bahwa ada kelemahan terhadap kontrol HPL yang di dapatkan oleh pengusaha, karena masalah lahan tidur sudah menahun, namun negara yang memiliki otoritas memaksa tidak mampu melakukan penertiban dalam pemanfaat lahan di Kota Batam.Dalam pandangan penulis perlu langkah yang tegas terhadap para pemilik HPL yang membiarkan lahannya tidak dimanfaatkan.Jika diperlukan sampai pada tahapan peninjauan HPL bahkan pencabutan terhadap HPL tersebut.

Ini perlu menjadi perhatian agar semangat awal menjadikan Kota Batam sebagai Kota industri dan menjadi penopang ekonomi segara bisa terwujud.
Akibat dari kurangnya kontrol terhadap sejumlah HPL ini Badan Pengusahaan Batam mulai sulit untuk menfasilitasi ketersediaan lahan bagi investor baru di Kota Batam.Dampak lain secara ekonomi dari lahan tidur ini berpotensi merugikan negara miliran rupiah. Estimasi ini didapat dengan menghitung pajak atas tanah tersebut.Serta nilai ekonomis tanah tidak di optimalkan di Kota Batam.

Koreksi berikut yang harus dilakukan adalah terhadap para pengusaha yang memiliki HPL namun belum dimanfaatkan.Maka diperlukan itikad baik dari pemilik HPL untuk melakukan koordinasi dengan Badan Pengusahaan Batam dalam hal pemanfataan lahan, perlu kejelasan tentang pemanfaatanya, jika memang pada posisi tidak mampusecara ekonomi untuk memanfaatkan HPL tersebut, akan lebih bijak kembali menyerahkan kepada negara, agar bisa dimanfatakan oleh para investor yang lain.

Penutup

Dari pemaparan yang singkat tentang polemik lahan tidur di Kota Batam ini, dapat di tarik kesimpulan, pertama, negara melalui kewenangan yang dimiliki Badan Pengusahaan Batamsangat dominan dalam penguasaan tanah di Kota Batam. Kedua, dominasi negara tersebut berkurang pasca tanah dikelola oleh pengusaha melalui Hak Pengelolaan Lahan (HPL), hal ini dibuktikan banyaknya lahan tidur dan sudah menahun di Kota Batam pasca tanah dikuasai oleh pemegang HPL dan sulit untuk di kontrol oleh Badan Pengusahaan Batam.Ketiga, perlu komitmen, kesungguhan serta kejelasan dari pemegang HPL terhadap pemanfataan lahan.

Penulis: Bismar Arianto
Dosen Ilmu Pemerintahn FISIP UMRAH, sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.

Loading...