Belajar Bangga dari The Harmony of Local Wisdom #2

Loading...

Mungkin selama ini sudah terlalu banyak yang saya tulis. Tentang kisah orang-orang sukses yang mengawalinya dengan perjuangan. Pengusaha yang mengawali usahanya dari model dengkul, birokrat yang lahir dari ayah ibu dengan ekonomi pas-pasan.

Lalu perasaan bangga itu lama-lama berkurang dengan sendirinya. Padahal, tidak saya paksakan untuk berkurang. Namun agaknya saya harus mulai belajar bangga lagi dari anak-anak yang usianya terpaut puluhan tahun.

Semuanya berawal dari The Harmony of Local Wisdom #2

Tanggal 28 September hingga 30, kebetulan saya menghadiri Kongres PWI di Solo yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Sebetulnya, kalau harus duduk berlama-lama di ruangan, meski ber-AC, biasanya saya paling tidak tahan. Saya malah lebih suka bernostalgia dengan zaman saat awal-awal menjadi wartawan.

Dua dua masuk, tunjukkan tiketnya ya Bapak Ibu. F-nurali mahmudi/suarasiber

Usai meliput, mampir ke warung tepi jalan yang banyak sekali bisa ditemukan di Batam, Provinsi Kepri. Ngobrol soal isu-isu yang tengah hangat di masyarakat. Atau sesekali nongkrongi pedagang buku bekas di Pasar Jodoh.

Dari Solo, saya minta izin teman-teman satu daerah. Saya harus ke Yogyakarta. Bukan untuk pelesir, mengunjungi destinasi-destinasi wisata di daerah ini yang tiba-tiba semarak. Pantai yang dulu tak disentuh, kini didandani. Dikasih gincu dan bedak, agar wisatawan datang.

Adalah sebuah foto yang dikirim anak saya lewat WhatsApp. Sebuah tiket konser bertajuk The Harmony of Local Wisdom #2. Tidak saya bayangkan bakal seperti apa. Mungkin juga sudah terlalu sering saya meliput konser musik. Dari tingkat karang taruna sampai Soundrenalin yang waktu itu diadakan di Stadion Temenggung Abdul Jamal, Batam.

Yang ingin membeli souvenir ala SMM Yogyakarta, bisa diperoleh di belakang pintu masuk auditorium. F-nurali mahmudi/suarasiber

Sebuah caption disertakan di bawah foto tersebut. Isinya, anak saya ingin saya hadir pada Jumat, tanggal 5 Oktober malam itu. Ia bilang orang tua teman-temannya dari berbagai provinsi menyatakan untuk datang. Ya sudah, Ayah berangkat, Nak. Akhirnya begitulah jawaban saya.

Menunggu tanggal 5 Oktober, saya habiskan untuk keluyuran. Ke sejumlah pusat pengrajin di Kasongan, bertanya sana-sini kira-kira apa yang bisa dikembangkan di Kepri. Atau setidaknya men-charge semangat saya dari para pengrajin gerabah bagaimana mereka berkelit di masa sulit.

[irp posts=”11234″ name=”Bekas Tambang Bauksit, Meninggalkan Hantu” yang Mengincar Warga”]

[irp posts=”11231″ name=”Lagi, 4 Penyebar Hoax di Medsos Ditangkap Bareskrim”]

[irp posts=”11219″ name=”Mengharukan, Pertemuan Bocah 6 Tahun Korban Tsunami Palu dengan Orang Tuanya (Video Version)”]

Di Pasar Beringharjo, saya juga mendapat banyak teman baru. Baik Mbok pedagang, Mas driver ojek online. Saya bocorkan kepada Anda, jangan pernah ingin menjadi wartawan jika hanya berteman dengan satu kelompok. Lha sumber berita itu bisa siapa saja. Bahkan orang gila.

Saatnya The Harmony of Local Wisdom #2

Informasi tentang konser ini hanya saya intip dari grup WhatsApp bernama Ortu SMM 18. Ini adalah rumah maya orang tua yang anaknya sedang bersekolah di SMKN 2 Kasihan Bantul atau lebih sering disebut Sekolah Menengah Musik (SMM) dengan tagline Sekolah Musiknya Indonesia.

Orkes Keroncong Sekar Langit kelas XI, berasal dari berbagai daerah, bahkan Malaysia. F-grup wa

Busyet, menjelang The Harmony of Local Wisdom #2 grup ini seperti pasar. Seolah rebutan menuliskan pesan sebelum didahului yang lain. Kalau ada yang bertanya The Power ofe Emak-emak, di grup ini bisa saya jadikan jawaban untuk Anda.

Uh, luar biasa Emak-emak. Mereka perfeksionis, ingin baju yang dikenakan anaknya saat konser benar-benar matching. Saya maklum, ini kan konser perdana anak-anak mereka. Ini kan penampilan pertama anak-anak mereka setelah tiga bulan lebih sekian hari ditempa bakat musiknya oleh para pengajar di SMM.

Pukul 18.00 WIB, pintu utama Auditorium SMM Yogyakarta sudah meriah. Tetapi bukan berarti sudah dibuka. Lihatlah, para orang tua sudah antre. Ada yang datang sendiri, ada yang bersama suaminya, ada juga yang plus anaknya yang lain. Kalau soal dominasi, tetap jumlah emak-emak paling banyak.

Mereka ini sudah seperti saudara. Saya sih mengintipnya di grup he he. Jangan ditanya soal foto wefie. Para emak yang datang lebih dahulu ngumpul-ngumpul. Saya senang juga melihatnya. Orang lain, dari berbagai daerah di Indonesia, karena anaknya sama-sama sekolah di SMM, mereka layaknya saudara. Indah.

Orkestra siswa kelas X – XII SMM Yogyakarta. F-grup wa

Memasuki ruangan auditorium, setelah pintu utama dibuka, disambut siswa siswi SMM. Yang perempuan berkebaya, yang laki-laki berbaju adat Jawa lengkap dengan blangkonnya.

Sebuah panggung konser di depan mata, tertutup kain biru tua. Bebungaan hidup menghidupkan kesan alami dalam ruangan ber-AC. Entah mengapa kok saya sepertinya nyaman duduk. Satu persatu tamu undangan memenuhi kursi terdepan, lalu pengajar SMM di deretan kedua. Ada Bupati Bantul, perwakilan ISI, perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan orang-orang yang pasti penting.

Deretan ketiga hingga ke sekian, adalah kursi untuk kami, para orangtua siswa.

Menunggu konser dimulai, sejumlah siswi SMM kelas XI membawakan beberapa lagu keroncong. Mawar Biru, Suket Teki, Gambang Semarang, Di Bawah Sinar Bulan Pertama hingga Deen Assalam. yang terakhir dipopulerkan Nisya Sabyan.

Lantas seorang guru SMM memperkenalkan anggota Orkes Keroncong Sekar Langit itu. Ada yang dari Malang, Riau, Tangerang, Malaysia, Semarang, Ngawi dan kota lain yang tak sempat saya catat.

Kepala SMM Yogyakarta, Agus Suranto SPd MSn memberikan kata sambutan. Kepala Sub Direktorat Perencanaan Kebutuhan, Peningkatan Kualifikasi dan Kompetensi (PKPKK), Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) Kemendikbud, Santi Ambarukmi, juga memberikan kata sambutan.

Anak Tanjungpinang, Kepri; Yogyakarta dan Tulang River, Tawau, Malaysia ini bertemu di SMM Yogyakarta karena kesamaan bakat. F-instagram

Tiga host menyapa. Menjelaskan tentang The Harmony of Local Wisdom #2 serta tata cara menyaksikan konser ini. Pertama menggunakan Bahasa Indonesia, kedua Bahasa Inggris, ketika Bahasa Jawa halus (krama inggil).

Selamat menikmati The Harmony of Local Wisdom #2.

Orkestra campuran siswa kelas X sampai XII, orkestra per angkatan, vokal, ensambel gitar. Ponselo ponsel terangkat ke atas, tanpa blitz karena memang begitulah aturannya. Tak boleh jalan mencari lokasi foto terbaik, karena memang itu juga aturannya. Ini konser, silakan dinikmati.

Satu diantara anak-anak itu anak saya. Saya lihat emak-emak yang biasanya heboh mendadak terdiam. Semua hanyut dalam alunan musik dan lagu yang dibawakan.

Beruntung saya duduk di bangku paling belakang. Bukan bangku untuk penonton konser. Bangku untuk para sound man yang serius bekerja.

Jauh dari orang tua untuk belajar. F-instagram

Saya terharu. Saya bangga. Terima kasih anak-anak, kalian memunculkan kembali naluri bangga pada diri saya. Kalau memang pantas membuat saya bangga, meski itu dari orang lain, saya harus mengakuinya. Biar tidak terjebak pada sifat megalomania, hanya diri saya sendiri yang saya banggakan.

Selamat berkarya, Nak. Lalu saya menghapus titik air mata saat kelopak terasa hangat. Pelan-pelan, biar tak ketahuan orang lain.

Besok ayah harus kembali ke Tanjungpinang, Nak. Jalani apa yang kamu inginkan. Salam hangat buat guru-gurumu, teman-temanmu di sekolah dan kos. Doa ayah tak akan terhenti meski konser kalian usai. Mengalir…. (nurali mahmudi)

Loading...