Di Ambang Sore yang Menyedihkan di Pelabuhan Dompak

Loading...

Papan plang bertuliskan Tanah Ini Milik Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan nomor sekian-sekian dan luas sekitar 19.230 meter persegi, terpacak tegak di semak belukar di sebelah kanan pintu masuk Pelabuhan Dompak. \

Sigit Rachmat – Tanjungpinang

Pintu masuk berupa gerbang beratap biru dengan tulisan Pelabuhan Dompak dicat merah menjadi penanda sudah sampai di kawasan pelabuhan. Di sebelah huruf P terpasang logo Kementerian Perhubungan.

Logo yang terkesan remeh itu menjadi penanda siapa pemilik bangunan di belakang pintu gerbang, yang sekilas terkesan mirip gerbang khas bangunan Tionghoa zaman old. Kemiripannya bisa dilihat dari adanya atap genting di atas pintung gerbang. Bedanya, genting di gerbang ini dicat warna biru laut. Bukan merah.

Genangan air di halaman pelabuhan, menambah daftar sisi suram bangunan yang menelan anggaran puluhan miliar ini. F-mat

Sore itu, Minggu (27/5/2018) saya mendatangi pelabuhan itu. Untuk mengetahui seperti apa wujudnya kini. Untuk masuk gerbang harus meloncat balok beton berbobot sekitar 1 ton. Ada sekitar 10 balon beton di gerbang masuk dan sekitar 10 balok beton di pintu keluar. Tak ada celah sama sekali untuk badan, apalagi untuk sepeda motor, dan mobil.

Saya tulis berat 1 ton, bukan karena saya timbang atau lihat tulisannya. Ukuran berat itu saya ambil dari kubikasi panjang kali lebar kali tinggi sehingga diperoleh volume atau isi 1 ton. Ada ratusan balok beton serupa di sepanjang jalan masuk ke arah pelabuhan. Apakah ini balok pemecah ombak (break water) itu? Perlu konfirmasi lanjutan.

Balon beton itu saya loncati. Hup… Maaf bukan mau berperilaku tidak etis dengan tidak meminta izin. Tapi mau izin dengan siapa? Memang ada pos jaga yang kacanya sudah pecah, di dalamnya tidak ada sesiapapun untuk meminta izin masuk.

Halaman parkir yang lapang menyambut berikut dengan semak belukar di semua lahan yang tidak ditutup aspal. Selain semak, saya juga disambut dengan kolam yang cukup luas di parkiran itu. Lahannya mungkin belum rata saat diaspal. Jadinya lahan parkir itu membentuk kolam.

Luruskan pandangan ke bangunan pelabuhan. Deretan jendela kaca yang dulu bekilap cantik kini sudah hilang. Kaca-kacanya memang masih ada, tapi bukan di bingkai jendela. Di bawahnya. Pecah berderai!

Nama Pelabuhan Dompak tengah viral. Bukan karena kemolekannya. Bukan juga karena rekor penggunanya yang ramai. Viral karena sedang disidik oleh Satreskrim Polres Tanjungpinang yang dibantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kabarnya, kaca bangunan menjadi semacam sasaran lempar batu oleh anak-anak muda yang kadang datang ke sini. F-mat

KPK melalui juru bicaranya Febri Diansyah, menduga ada korupsi di proyek yang dibangun menggunakan anggaran APBN-P tahun 2015. Khususnya pada proyek pembangunan break water (pemecah ombak). Dan, dilaksanakan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Tanjungpinang.

Saya pun meloncati pecahan kaca jendela dan menerobos jendela yang sudah tak ada lagi kacanya itu ke belakang bangunan. Bagian belakangnya berhubungan langsung dengan jilatan ombak.

Dari atas pagar bangunan saya melongok ke bawah. Ke bibir pantai. Yang terlihat hanya bongkahan batu granit seukuran pinggang orang dewasa. Tidak tampak ada pemecah ombak seperti yang terlihat di pantai Tanah Lot, Bali, yang berupa beton berbentuk segitiga. Yang ujung-ujung segitiganya panjang sekitar 1 meter.

Atau, pecahan batu granit itu yang dimaksud sebagai pemecah ombak? Atau, balok beton berbentuk persegi empat yang dijadikan penghalang kendaraan masuk ke pelabuhan? Saya tanya ini karena saya tidak tahu spek proyeknya, saya juga bukan pemain proyek. Jadi, kurang tahu seperti apa spek dan sebagainya.

Ah.. Sudahlah, kata saya dalam hati, mending saya lihat-lihat bangunan ini lebih dalam lagi. Menyusuri lorong-lorong kosong di dalam pelabuhan hanya terlihat pecahan kaca yang berserakan. Selain pecahan plafon yang berjatuhan karena lapuk dimakan tetesan air hujan.

Di dermaga belakang terlihat juga sebagian atap spandek bercat biru yang berantakan dihajar angin. Sambil berjalan kembali ke depan, saya melongok ke ruangan kontrol panel listrik. Isinya sudah tidak ada. Bahkan, kabel listrik yang ada di dalam dinding pun sudah hilang berikut dengan pipa-pipa petaknya sekalian.

Saya ambil gambarnya dari sudut manapun, Pelabuhan Dompak memang memunculkan cerita sedih. F-mat

Pelabuhan yang dibangun dengan dana APBN sekitar Rp57,34 miliar ini, sama sekali belum sempat digunakan tapi kondisinya lebih mirip bangunan tua yang sudah menjelang rubuh. So… Siapa yang harus bertanggungjawab? Kita tunggu saja hasil penyidikan Satreskrim Polres Tanjungpinang.

Kapolres Tanjungpinang AKBP Ucok Lasdin Silalahi yang dikonfirmasi suarasiber.com sebelum bertandang ke Pelabuhan Dompak, mengatakan dugaan korupsi itu masih dalam penyelidikan oleh Satreskrim Polres Tanjungpinang. “Dan, bekerja sama dengan KPK.”

Untuk keluar pelabuhan, saya harus loncati balon beton itu sekali lagi. Saya layangkan mata ke jalur sebelah karena melihat aspal itu tak ada keringnya dan air terus mengalir. Ternyata, di sebelah jalan itu drainasenya tidak ada. Sehingga air dari atas bukit langsung turun ke badan jalan.

Di tepi parit yang sudah penuh dengan lumpur dan tanah kuning terlihat tanaman kantong semar. Tanaman itu terlihat antara hidup dengan mati. Saya ambil dan saya bawa pulang, mau coba ditanam ke dalam pot.

Di mana-mana hanya pecahan kaca berserakan. F-mat

Siapa tahu tanaman pemakan serangga yang sudah mulai langka ini bisa melanjutkan hidupnya. Sekaligus jadi saksi saya pernah ke Pelabuhan Dompak, pelabuhan mahal yang sudah hancur sebelum sempat dipakai.

Saya membalikkan badan, menatap bangunan yang baru saja saya nikmati sudut-sudutnya. Waktu ngabuburit akan segera berakhir, azan maghrib akan menandai akhir puasa Ramadan 1439 Hijriah hari ini. Entah mengapa saya teringat lagu Di Ambang Sore, lagu Melayu yang melegenda hingga dinyanyikan banyak orang.

Dalam renunganku seorang, di ambang sore nan lalu, tiada bisikan tenang, tamasya indahku bisu. Itulah empat larik bait pertama lagu itu, seperti tamasya saya barusan ke Pelabuhan Dompak. Ada kesunyian dan kesenduan, bisu.

Lalu empat baris terakhirnya, entah apa sebabnya, tiada kabar berita, ujung senja kunantikan, namun dikau tiada datang. Ah, mengapa saya khawatir kemegahan dan keindahan Pelabuhan Dompak tak bisa lagi dinikmati sebagai salah satu kebanggaan di pusat pemerintahan Provinsi Kepri ini. Cerita sedihnya yang justru datang.***

Loading...