Burung-burung Obiet

Loading...

SEPERTI biasa pagi ini Obiet dkejutkan oleh suara merdu burung-burung kesayangannya yang berjejer rapi di sepanjang sudut luar kamarnya. Senyum manis tersungging di wajah polosnya. Dibukanya lebar-lebar jendela kamar. Sejuknya udara pagi begitu nyaman. Senyum semakin mengembang di wajahnya.

“Selamat pagi Jakun,” sapanya riang pada burung perkutut yang tepat
berada dekat jendelanya.

“Selamat pagi juga Puna, Pedro, Joki, dan Deden.”

Burung-burung yang disapa Obiet semakin rebut berkicau seakan mengucapkan selamat pagi juga padanya. Sesaat Obiet terpana. Dia benar-benar menikmati suara-suara burung tersebut.

“Obiet……. Obiet….!” suara halus mama terdengar di depan pintu.

“Ya, Ma, ada apa?”

“Cepat mandi, Papa sudah menunggu! Jadi tak ikut Papa?”

“Jadi dong, Ma.”

Obiet bergegas mandi. Hampir saja dia lupa kalau hari ini Papa akan mengajarinya berburu, latihan menembak burung di hutan tak jauh dari rumahnya. Ini adalah kesempatan yang sudah sangat lama ditunggu Obiet.

Memegang senapan angin dan mengarahkan pada sasarannya. door………..!

Di dalam hutan yang tidak begitu lebat Obiet mulai belajar cara menggunakan senapan angin dan mengarahkan pada sasaran. Dalam waktu tak begitu lama Obiet sudah dapat melakukannya.

“Sekarang kita mulai berburu,” kata Papa sambil menepuk pundak Obiet.

Obiet tambah bersemangat

“Pa, lihat di atas pohon sana ada seekor burung,” kata Obiet pelan. Dia khawatir suaranya dapat membuat burung itu terganggu dan terbang.

“Nah, sekarang kesempatan kamu menembaknya,” ujar papa.

“Beres, Pa,” jawab Obiet bersemangat.

Penuh percaya diri Obiet mengarahkan moncong senapannya. Hati-hati tapi pasti Obiet melepaskan peluru pertamanya. Door………..!

“Hore….. aku berhasil.berhasiiiil,” teriak Obiet gembira. Obiet tak menyangka kalau tembakannya tepat sasaran. Burung pipit yang berwarna kehitaman itu tergeletak di tanah. Ayah pun ikut kagum dengan kemampuannya.

“Hebat kamu Biet, luar biasa kemampuan menembakmu. Kalau begitu ayah akan memasukkanmu pada club olahraga tembak,” puji papa bangga.

“Yang paling utama Papa harus membawaku kalau berburu,” kata Obiet sambil membusungkan dada.

“O…. pasti itu, kamu pemburu berbakat,” kata papa.

Obiet semakin bersemangat berburu. Dia semakin bangga ketika berhasil menembak tepat sasarannya. Di sekolah besok Obiet pasti akan cerita pada teman-temannya tentang kehebatannya. Obiet benar-benar bangga dengan kehebatannya.

Obiet dan papa sampai di rumah menjelang sore. Sebelum masuk rumah ia menyempatkan diri melihat burung-burung piaraannya. Obiet terkejut karena salah satu burung kesayangannya mati. Burung beo yang bernama Pedro. Padahal burung itu  harganya paling mahal dibeli Obiet.

“Ma, kok Pedro mati,” rengek Obiet sambil mencari mamanya di dapur.

“Sebelum pergi berburu kamu sudah beri minum dan makan belum burung-burung itu?” tanya Mama.

“Belum, Ma, Obiet lupa karena terlalu gembira diajak Papa berburu.”

“Aduh Obiet, Mama seharian tadi asyik dengan kebun belakang. Jadi Mama pun lupa. Pastilah Pedro kehausan dan kelaparan. Lagi pula hari inikan panas sekali. Mungkin Pedro tak tahan. Jadi mati.” Jelas mama panjang lebar.

Obiet menjadi lemas mendengar penjelasan Mama.

“Sudahlah jangan sedih, nanti Papa carikan gantinya,” kata Papa menghibur Obiet.

“Terimakasih, Pa,” jawab Obiet kembali riang.

Malamnya Obiet tidur dengan gelisah. Dia masih teringat dengan burungnya yang mati karena kelalaiannya. Tiba-tiba Pedro muncul di depan pintu. Obiet bangun dari tempat tidurnya dan menghapiri Pedro. Betapa terkejutnya Obiet ketika melihat Pedro yang semakin didekati semakin besar dan wajahnya terlihat mengerikan.

Pedro juga membawa sebuah sarang yang sangat besar dan kemudian menangkap Obiet dan mamasukkanya dalam sarang tersebut. Obiet tak bisa berkata-kata. Lidahnya terasa kelu. Obiet berusaha teriak memanggil Mama tapi suaranya tak keluar sedikitpun. Obiet  semakin ketakutan ketika Pedro membawanya keluar jendela terbang tinggi dan kemudian hinggap di sebuah hutan yang lebat.

Obiet beserta sarangnya digantung pada sebuah pohon yang tinggi. Rasanya sudah berhari-hari dia di sana. Perutnya terasa begitu lapar juga haus. Obiet juga sangat sedih karena rindu dengan mama, papa, dan teman-teman di sekolahnya.

“Tolong…….,” teriak Obiet dari sarangnya. Akhirnya Obiet menangis
sekuat-kuatnya.

“Selamat datang ke istana kami Obiet,” sapa Deden, burung perkututnya yang berubah besar sama dengan Pedro. Bahkan Jakun, Puna, dan Joki ada di sekeliling sangkar Pedro. Tapi wajah mereka menyeramkan tidak seramah seperti biasa.

“Pedro, saya mohon kembalikan saya ke rumah,” rengek Obiet

“Tidak bisa, kamu akan tetap di sangkar itu sama seperti kamu mengurung kami di rumahmu.

“Tapi aku sangat rindu Mama, perutku pun sangat lapar. Aku haus sekali,” kata Obiet sambil meneteskan air mata.

“Itulah yang kami rasakan Obiet. Tiap hari kami berkicau bercerita dengan kamu. Betapa kami rindu terbang bebas, bercanda dengan teman-teman kami. Bertemu dengan orang tua kami. Tapi kamu tak mendengarkan apa yang kami bicarakan. Kamu malah senyum-senyum mendengar celoteh kami. Kamu jahat,” kata Joki.

“Kamu juga sering lupa memberikan kami minum dan makan. Kamu tahu nggak betapa sengsaranya kami. Bahkan akhirnya Pedro tak dapat bertahan hidup,” jelas Jakun lagi.

“Aku minta maaf, aku salah, aku telah memisahkan kalian  dari keluarga kalian bahkan aku telah membuat kalian kelaparan dan kehausan,” sesal Obiet.

“Sudah terlambat Obiet, kamu telah membuat Pedro mati,” kata Joki.

“Tapikan ini Pedro, dia masih hidup,” kata Obiet keheranan.

“Ini hanya rohku Obiet, aku memang sudah mati dan sekarang aku akan membawamu terkubur bersama,” kata Pedro semakin menyeramkan.

Obiet benar-benar ketakutan. Dia juga sangat menyesal karena telah mengurung burung-burung itu hanya untuk kesenangannya.Tiba-tiba Obiet dikejutkan lagi oleh beberapa burung yang telah ditembaknya bersama Papa.

Aduh Obiet benar-benar ketakutan dan menyesal. Diapun berteriak sekuat-kuatnya, Mama……………..!”

“Obiet bangun, sudah pagi,” kata Mama halus sambil menepuk pipi Obiet.

“Kamu mimpi ya,” kata Mama.

Obiet terdiam. Sebelum pergi sekolah Obiet melepaskan semua burung-burung  yang ada disangkarnya. Sambil makan Obiet berkata pada Papa.

”Pa, Obiet tak mau dibelikan burung lagi bahkan Obiet pun tak mau berburu burung lagi. Kasihan mereka pasti sedih kerena dikurung dan keluarga mereka juga pasti sedih kalau harus kehilangan mereka.

Papa dan mama tertegun tapi mereka dapat memaklumi keputusan Obiet. Bahkan akhirnya Papa pun menghentikan kebiasaannya berburu setelah mendengar mimpi Obiet. *)

CERPEN ini termasuk salah satu cerpen yang mendapat penghargaan dari Media Indonesia. Berkat cerpen ini siswa MAN Insan Cendikian Batam mendapat seperangkat peralatan sekolah dari Media
Indonesia – Koran nasional terbitan Jakarta tersebut.

Loading...