Mudahnya Melupakan…

Loading...

Tentu kita masih ingat, bagaimana lari tergopoh-gopoh menuju telepon umum hanya untuk mengabarkan sesuatu. Zaman sebelum tahun 2000, kehadiran alat telekomunikasi berbentuk telepon dengan tali spiral serta kotak ini masih populer.

Dengan recehan bergemericik di saku celana, satu tangan senantiasa bersiap memasukkan koin ke lubang jika mulai terdengar suara peringatan waktu bicara akan habis karena kuota koin. Belum lagi tengah asyik menelepon pacar, begitu menoleh ke belakang yang antre alamak…

Kalau saja kemajuan teknologi kumunikasi tidak seperti saat ini, telepon umum akan tetap dibutuhkan. Meski hanya mendengar suara. Rasanya sudah nyesss. Apalagi suara di seberang adalah jawaban iya atas pertanyaan, maukah engkau menjadi itsriku? Itu misalnya hehe.

Di Simpang Jalan A Yani – Jalan Raja haji Fisabilillah, Tanjungpinang, bukti kegagahan telepon umum masih tersisa. Laksana monumen, ia pernah menjadi bukti begitu banyak peristiwa atau percakapan antar manusia.

Dulu, gagang teleponnya sering dipegang tangan warga. Kelewat sering bahkan. Hingga kadang petugas harus memperbaikinya karena terjadi kerusakan.

Kita memang mahluk yang mudah melupakan. Sesuatu yang lama hanya sebatas kenangan. Tidak untuk diingat dan diberi label: pernah berjasa. Kalau perlu dirobohkan, karena tidak ada lagi yang menggunakannya.

Tahun 2000 sampai 2007 merupakan perkembangan teknologi. Semua karena lahirnya handphone yang tak lagi hanya untuk nelepon dan SMS. Perkembangannya begitu pesat, harganya juga mulai terjangkau. Salah satu produk yang biking ngiler saat itu mungkin nokia communicator dan PDA phone. Memiliki Nokia communicator merupakan sebuah prestise tersendiri karena harganya yang terbilang mahal.

Namun kita adalah mahluk yang memang gampang melupakan. Lama-lama Nokia communicator yang sudah bisa berkirim email dan fitur canggih lain pun akhirnya masuk keranjang kenangan.

Semua karena lahirnya legenda touchscreen pada 2007. User interface yang menarik, pengalaman touchscreen yang menyenangkan, semakin membuat telepon umum sama sekali tak dilirik.

Bahkan saat membawa anak-anak kita, ketemu kotak telepon umum yang masih tersisa ia akan bertanya benda apakah itu. Saat kita coba memberikan penjelasan oh itu telepon bisa saja si kecil bertanya lagi.

Kok tak ada layarnya? Bagaimana tampilkan videonya? Lihat youtubenya dari mana? Aplikasi media sosialnya di mana? Dan bla-bla lainnya yang membuat telepon umum menangis. Seandainya ia bernyawa.

Dulu, kita masih bisa menyaksikan wajah sendu seorang anak tatkala menelepon rumahnya dan mendapat kabar ibunya meninggal dunia setelah penyakit menggerogotinya. Raut muka sumringah ketika seorang gadis baru saja digombali kekasihnya di seberang sana. Kita masih saling sapa saat antre.

Ketika zaman di mana hampir semua orang memiliki smartphone, orang bisa berlama-lama. Yang ada hanya aku dan smartphone. Cukup. Orang lain dianggap tak ada. Duduk di ruang tunggu bioskop langsung buka smartphone. Bahkan rapat dewan terhormat pun ada yang kejepret kamera wartawan tengah asyik membuka video lewat smartphone.

Entah sampai kapan boks telepon umum di Jalan A Yani – Jalan Raja Haji Fisabilllah itu berdiri. Kalimat yang tepat mungkin penggalan lagu Jikustik berjudul Untuk Dikenang:

… mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang… (sigit rachmat)

Loading...